A. Pengertian dan Dasar
Hukum Rahn
Dalam bahasa
Arab, gadai diistilahkan dengan rahn yang secara etimologi mengandung
pengertian menggadaikan, menangguhkan.[1] Namun
demikian, ada juga pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah)
berarti tetap, kekal dan jaminan.[2] Dalam
definisi lainnya, rahn atau gadai menurut bahasa disebut
dengan al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn adalah
terkurung atau terjerat.[3]
Menurut istilah
syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
a.
Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]
b.
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’
sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan
uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.[5]
d.
Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu
barang yang diganti dengan barang yang lain.[7]
e.
Menjadikan zat suatu benda jaminan hutang.
f.
Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.
h.
Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[9]
Dalam Islam, rahn
merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan
jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut
Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’.[10] Adapun
dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
v Dasar
Hukum al-Qur’an
وإن كنتم على سفر ولم
تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه...
{البقرة: ۲۸۳}
Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah Tuhannya... (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat di
atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan bepergian dan
hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang,
kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal
penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain
sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa
benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau
hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah
pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara
satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan
kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak
yang bersangkutan.
Jaminan yang ada
di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk
memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus
berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar
pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang
berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan
pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang
yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana
orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya
sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang
berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum
Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.[11]
v Dasar
Hukum Hadits
عن عائشة رضى الله عنها قال: ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم اشترى من يهودى طعام ورهنه درعامن حديد.{رواه البخارى}[12]
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah
membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi
beliau. (HR.
Bukhari)
v
Ijma’
Para ulama telah
bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah
mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya. Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002,
tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak
bepergian maupun pada waktu bepergian.[13]
B.
Rukun dan Syarat-syarat Rahn
1.
Rukun Rahn
Sebelum melakukan
transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu apa
saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama,
rukun rahn ada empat yaitu:
a.
Shigat (lafal ijab dan qabul).
b.
Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
c.
Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
2.
Syarat-syarat Rahn
Menurut jumhur ulama,
ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu
berakal, baligh (dewasa), wujudnya marhun yang
dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[15] Di
samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain
dari rahn atau gadai yang harus dipenuhi secara
hukum fiqh, di antaranya yaitu:
a.
Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum
diwajibkan kepada orang yang telah baligh dan berakal.
b.
Syarat sighat (lafal), yaitu
ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya, orang yang
berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang
belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang selama satu bulan atau
memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk
sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua orang
saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang
yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
c.
Syarat marhun
bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh
dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.
d.
Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang
yang dijadikan agunan), di antaranya, yaitu:
Pertama,
barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang.
Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh
dimanfaatkan. Sebagai contoh, khamar tidak boleh dijadikan
barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak
bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan
barang jaminan.
Ketiga, barang jaminan itu jelas.
Keempat, agunan itu milik sah orang yang berhutang.
Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang
lain.
Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak
bertebaran dalam beberapa tempat.
Ketujuh,
barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
Apabila barang yang digadaikan itu secara hukum telah
berada di tangan pemberi hutang dan uang yang dibutuhkan telah diterima
peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti
rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan, tetapi cukup
surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang
merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh
al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang).
Syarat ini menjadi sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam
surat al-Baqarah ayat 283 yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan
itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat
mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan
barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang
jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang
jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).[16]
Dalam pemahaman mazhab
Syafi’i, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah sebagai berikut:
v Syarat luzum (tetap),
yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum
diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik
kembali perjanjiannya.
v Syarat sah gadai
yaitu:
a)
Syarat yang berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya
jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri,
karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.
b)
Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua
belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak
dalam pengampuan.
c)
Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:
§ Barang gadaian itu
haru hak milik sempurna.
§ Barang gadaian itu
harus benda yang tahan lama.
§ Barang gadaian itu
harus benda yang suci.
§ Barang gadaian itu
harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.
d)
Syarat yang berhubungan dengan marhun bih yaitu:
§
Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.
§
Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan
datang.
§
Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan
sifat-sifatnya.[17]
Berdasarkan dari
beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka
dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum
melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut
ketentuan syara’.
C. Pemeliharaan Objek
Gadai dan Biayanya Menurut para Fuqaha
Selama barang
gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hanya merupakan suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai pemegang
amanat, murtahin berkewajiban memelihara kemaslahatan barang gadai
yang diterimanya sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang
gadai tersebut dapat diadakan persetujuan penyimpanannya. Kemudian barulah
persetujuan diadakan setelah perjanjian gadai terjadi.[18]
Mengenai biaya
perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha sepakat
bahwasanya segala risiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi
tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahin.[19]
Karenanya setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya menjadi hak
pemilik barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان النبى صلى الله
عليه وسلم قال: ﻻﻳﻐﻟﻖ اﻟﺭﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺍﺣﺑﻪ ﺍلذﻯ ﺭﻫﻧﻪ ﻟﻪ ﻏﻨﻣﻪ ﻭﻋﻟﻴﻪ ﻏﺭﻣﻪ.{ﺭﻭﺍﮦ
ﺍﻟﺸﺍﻓﻌﻰﻭالدﺍﺭﻗﻄﻨﻰ}
Artinya:
Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat
barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib
mempertanggungjawabkan
segala nya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Daruquthny).
Bagaimanapun
mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung
oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang
mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan
oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah
sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang
gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak miliknya
dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung
oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat
dengan perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam hal ini
penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan atau membayar biaya makanan,
minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan juga
bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan
cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan
perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga
bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga dan tempat
pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa
pemeliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung
jawab tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad
gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena
tanggung jawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan
pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’i dan
Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran
perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh
penggadai (rahin).[20]
D.
Pemanfaatan Objek Gadai Menurut para Fuqaha
Pada dasarnya
barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh
penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan
hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai
atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang
gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana
pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai
pemilik marhun (rahin), apabila barang gadainya itu mengeluarkan
hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[21]
Para ulama fiqh
juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh dibiarkan
begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk
menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasul SAW. Tetapi mengenai boleh
tidaknya pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun
mendapat izin dari pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat para ulama fiqh.
Jumhur ulama fiqh
selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak
pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang
yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya,
maka barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi
piutangnya.[22]
Jika pemilik
barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang tersebut selama
berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan. Karena dengan
adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk
memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang
jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang
dilarang syara’ sekalipun diizinkan dan diridai pemilik barang. Bahkan menurut
mereka, ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa,
karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu
dalam masalah riba, izin dan ridha tidak berlaku.[23] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda
sebagai berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال رسول صلى الله
عليه وسلم: ﺍﻟﻆﻬﺭ ﻳﺭكب بنفقته ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍولبن الدر ﻳﺸﺭﺏ ﺑﻨﻔﻘﺘﻪ
ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮنا ﻭﻋﻟﻰ الذى ﻳﺭكب ﻭﻳﺸﺭﺏ النفقة. {ﺭﻮﺍﻩ البخارى}[24]
Artinya: Dari Abu
Hurairah r.a., bersabda Rasul SAW: binatang tunggangan boleh
ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan,
dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya
bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban
untuk memberikan makanan. (HR.
Bukhari)
Oleh karena itu,
diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan jika penggadai
atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya
menjadi milik bersama.[25]
Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak berfungsinya harta benda atau
mubazir.
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan
istilah RAHN. Rahn yang
diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
1.
Rahn ‘Iqar/Rasmi
(rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang
digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih
tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya bagaimana ya?
Jadi begini:
Tenriagi memiliki hutang kepada Elda
sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi
menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat
kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut
tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya
sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip
kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara
kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang
diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih
tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk
keperluan sehari-hari.
2.
Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip
dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.
Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas
barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di
atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi
tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal
hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali
mobil tersebut.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan
hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik
bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa
benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan
secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan
bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai
jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada
Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif
seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya
pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek
(biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:
Putri sudah merencanakan untuk memasukkan
anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian,
ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk
masuk ke jurusan favorit anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri
hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Putri mencari alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya
ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak
untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya
membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana
tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh
untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn
untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang
sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank
sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk
meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan berdasarkan
pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika Putri
baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan),
maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:
Rp.
3.500,– X 30 hari = Rp.
105.000,–
Jadi,
pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang
sebesar:
Rp.
10 jt + Rp. 105.000,– = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2
bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka
Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank
yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan
mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika
baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Putri
tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus
asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi,
prinsip pokok dari Rahn adalah:
1.
Kepemilikan atas
barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
2.
Kepemilikan baru
beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh
pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang
digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik
barang.
3.
Penerima gadai
tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin
dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban
menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang
digadaikan tersebut.
[1] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Al-Qu’an, 1983),
hlm. 148.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, Jilid 12, Cet. VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung:
Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.
[7] Jamaluddin
Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, Jilid XIII, (Beirut: Dar
al-Shadri, t.t.), hlm. 188.
[11] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly),
(Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99
[17] Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah
al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm.
328-329
[19] Ghufron
A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 178.
[20] Wahbah
az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182, 221-222
[25] Khalil Umam, Agama Menjawab tentang
Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19