Selasa, 10 November 2015

  





A.  Pengertian dan Dasar Hukum Rahn
Dalam bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn yang secara etimologi mengandung pengertian menggadaikan, menangguhkan.[1] Namun demikian, ada juga pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah) berarti tetap, kekal dan jaminan.[2] Dalam definisi lainnya, rahn atau gadai menurut bahasa disebut dengan al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn adalah terkurung atau terjerat.[3]
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
a.    Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]
b.    Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.[5]
c.    Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.[6]

d.   Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang yang lain.[7]
e.    Menjadikan zat suatu benda jaminan hutang.
f.     Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.
g.    Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[8]
h.   Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[9]
Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’.[10] Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
v Dasar Hukum al-Qur’an
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه... {البقرة: ۲۸۳}
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian  kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya... (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.[11]
v  Dasar Hukum Hadits
عن عائشة رضى الله عنها قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودى طعام  ورهنه  درعامن حديد.{رواه  البخارى}[12]
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau. (HR. Bukhari)
v  Ijma’
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[13]

B.   Rukun dan Syarat-syarat Rahn
1.    Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada empat yaitu:
a.      Shigat (lafal ijab dan qabul).
b.       Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
c.       Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
d.      Hutang (ar-marhun bih). [14]
2.    Syarat-syarat Rahn
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh (dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[15] Di samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya yaitu:
a.    Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah baligh dan berakal.
b.    Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya, orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
c.      Syarat marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.
d.   Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya, yaitu: 
Pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang. 
Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh, khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang jaminan
Ketiga, barang jaminan itu jelas. 
Keempat, agunan itu milik sah orang yang berhutang. 
Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. 
Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
Ketujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya. Apabila barang yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283 yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).[16]
Dalam pemahaman mazhab Syafi’i, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah sebagai berikut:
v Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik kembali perjanjiannya.
v Syarat sah gadai yaitu:
a)   Syarat yang berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.
b)   Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampuan.
c)    Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:
§  Barang gadaian itu haru hak milik sempurna.
§  Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.
§  Barang gadaian itu harus benda yang suci.
§  Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.
d)   Syarat yang berhubungan dengan marhun bih yaitu:
§  Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.
§  Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan datang.
§  Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.[17]
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan syara’.

C.  Pemeliharaan Objek Gadai dan Biayanya Menurut para Fuqaha
Selama barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai pemegang amanat, murtahin berkewajiban memelihara kemaslahatan barang gadai yang diterimanya sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan penyimpanannya. Kemudian barulah persetujuan diadakan setelah perjanjian gadai terjadi.[18]
Mengenai biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha sepakat bahwasanya segala risiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahin.[19] Karenanya setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya menjadi hak pemilik barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال: ﻻﻳﻐﻟﻖ اﻟﺭﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺍﺣﺑﻪ ﺍلذﻯ ﺭﻫﻧﻪ ﻟﻪ ﻏﻨﻣﻪ  ﻭﻋﻟﻴﻪ ﻏﺭﻣﻪ.{ﺭﻭﺍﮦ ﺍﻟﺸﺍﻓﻌﻰﻭالدﺍﺭﻗﻄﻨﻰ}
Artinya:  
 Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Daruquthny).
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam hal ini penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan atau membayar biaya makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa pemeliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung jawab tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggung jawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).[20]

D.  Pemanfaatan Objek Gadai Menurut para Fuqaha
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahin), apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[21]
Para ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasul SAW. Tetapi mengenai boleh tidaknya pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama fiqh.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.[22]
Jika pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan. Karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang dilarang syara’ sekalipun diizinkan dan diridai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridha tidak berlaku.[23] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda sebagai berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال رسول صلى الله عليه وسلم: ﺍﻟﻆﻬﺭ  ﻳﺭكب بنفقته ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍولبن الدر ﻳﺸﺭﺏ ﺑﻨﻔﻘﺘﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮنا ﻭﻋﻟﻰ الذى ﻳﺭكب ﻭﻳﺸﺭﺏ النفقة. {ﺭﻮﺍﻩ البخارى}[24]
Artinya:   Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasul SAW: binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan(HR. Bukhari)
Oleh karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.[25] Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak berfungsinya harta benda atau mubazir.

Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah RAHN. Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
1.    Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
2.    Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor.  Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:
Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:
Rp. 3.500,–  X  30 hari     =    Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt  +  Rp. 105.000,–   = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka  Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:
1.      Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
2.      Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
3.      Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Al-Qu’an, 1983), hlm. 148.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet. VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 187
[6] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.
[7] Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, Jilid XIII, (Beirut: Dar al-Shadri, t.t.), hlm. 188.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 106
[9] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma‘arif, 1983), hlm. 50.
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 139
[11] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99
[12]  Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.
[13] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52.
[14] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254. 
[15] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah , hlm. 53.
[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254-255
[17] Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329
[18] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.
[19] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.
[20] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182, 221-222             
[21]  Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm 55
[22] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.
[23] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257
[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, hlm. 78.
[25]  Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19