Rabu, 26 Agustus 2015

Buku Fiqh Muamalah


A.      Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih Muamalah.[1]
1.    Fiqih
Menurut etimologi, fiqih adalah الفهم (paham), seperti pernyataan : فقهت الدرس (saya paham pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun  ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut Al-Amidi, pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhah). Pengetahuan yang tidak melalui jalur ijtihad (kajian), tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah-masalah qath’i lainnya tidak bermasuk fiqih.[2]
Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi dan zhanni. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan kata al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih Al-Islami, yang sering diterjemahkan dengan hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembangan selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi beberapa bidang, diantaranya Fiqih Muamalah.
2.    Muamalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata ’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal.[3]
Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia,  dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dan lain-lain. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.
Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya.[4]  Firman Allah dalam surat an Nahl: 89
t$uZø9¨tRur... šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
Artinya: “ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)
3.    Fiqih Muamalah
Pengertian fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua:
a.    Fiqih muamalah dalam arti luas
§  Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah
التحصيل الدنيوى ليكون سببا للأخر
“aktifitas untuk menghasilkan duniawi yang menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi”.[5]
§  Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.[6]
§  Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain.[7]
Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.[8]
Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara amal perbuatan dunia dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.[9]
b.    Fiqih muamalah dalam arti sempit:
§  Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah
المعاملات جميع العقود
“semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat”.
§  Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).[10]
Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.
Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk memenuhi kepentingan hidup mereka.[11]
Perbedaan mendasar pengertian fiqih muamalah dalam arti sempit dengan pengertian dalam arti luas adalah dalam cakupannya. Muamalah dalam arti luas mencakup masalah waris, misalnya, padahal masalah waris dewasa ini telah diatur dalam displin ilmu tersendiri, yaitu dalam fiqih mawaris (tirkah). Karena masalah waris telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, maka dalam muamalah arti sempit tidak termasuk di dalamnya.
Sedangkan persamaan pengertian fiqih muamalah dalam arti sempit dan luas ialah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya  dengan pemutaran harta.[12]
B.       Pembagian Fiqih Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
1.    Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2.    Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.    Muhasanat (Hukum Acara)
4.    Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5.    Tirkah (Hukum Peninggalan)
Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:
1.    Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
2.    Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.
Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah  dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, pembagian di atas hanyalah sebuah teori saja.[13]

C.       Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
1.    Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2.    Al-Muamalah Al-Madiyah
Termasuk dalam ruang lingkup Al-Muamalah Al-Madiyah:
1)   Jual beli (bai’)
2)   Gadai (rahn)
3)   Jaminan/ tanggungan (kafalah)
4)   Pemindahan utang (hiwalah)
5)   Jatuh bangkit (taflis)
6)   Batas bertindak (hajru)
7)   Perseroan atau perkongsian (syirkah)
8)   Perseroan harta dan tenaga (mudharabah)
9)   Sewa menyewa tanah (musaqah, mukhabarah)
10)    Upah (ujrah)
11)    Gugatan (syuf’ah)
12)    Sayembara (ji’alah)
13)    Pembagian kekayaan bersama (qisamah)
14)    Pemberian (hibbah)
15)    Pembebasan (ibra’), damai (shulhu)
16)    Beberapa masalah mu’ashirah, seperti masalah bunga  bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.[14]
17)    Pembagian hasil pertanian (musaqah)
18)    Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
19)    Pembelian barang lewat pemesanan (salam)
20)    Kerjasama dengan pembari modal (mudlarabah)
21)    Pinjaman barang (‘ariyah)
22)    Sewa menyewa (ijarah)
23)    Penitipan barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi.[15]

D.      Hubungan Fiqih Muamalah dengan Fiqih Lainnya
Para ulama fiqh telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqh, namun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya. Disini hanya akan dikemukakan  pendapat yang membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu :
1)   Ibadah, yakni segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti : shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad.
2)   Muamalah, yakni segala persoalan yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia.
Menurut Ibn Abidin yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, pembagian fiqh dalam garis besarnya terbagi tiga, yaitu :
1)   Ibadah, bagian ini melengkapi lima persoalan pokok yaitu : shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
2)   Muamalah, bagian ini terdiri dari : mu’awadhah maliyah, munakahat, mukhashamat,dan tirkah (harta peningglan)
3)   ‘Uqubat, bagian ini terdiri dari : qishash, had pencurian, had zina, had menuduh zina, takzir, tindakan terhadap pemberontak, dan pembegal.
Ada juga yang membagi fiqih menjadi empat bagian yaitu:
1)   Ibadah
2)   Muamalah   
3)   Munakahat
4)   ‘Uqubat
Di antara Pembagian di atas, pembagian pertama lebih banyak disepakati oleh para ulama. Hanya, maksud dari Muamalah di atas ialah Muamalah dalam arti luas yang mencakup bidang-bidang fiqh lainnya. Dengan demikian, muamalah dalam arti luas merupakan bagian dari fiqh  secara umum. Adapun  fiqh muamalah dalam arti sempit merupakan bagian dari fiqh muamalah dalam arti luas yang setara dengan bidang fiqh di bawah cakupan arti fiqh secara luas.[16]

E.        Manfaat Mempelajari Fiqih Muamalah
Kegunaan/manfaat Ilmu Fiqh itu sendiri di dalam mukadimahal-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan, yaitu agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.[17]
Fiqih muamalah merupakan bagian dari ilmu fiqih yang berkenaan dengan ibadah hubungannya antar manusia. Hukum mempelajari fiqih mu’malah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi karena setiap aktifitas manusia tidaka lepas dari aspek ini oleh karena itu wajib hukum nya mempelajari fiqih mu’malah sebagaimana ungkapan Husein Shahattah dalam kitab Iltizam bi dhawabith As-Syar’iyyah Fil Mu’amalt Maliyah “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Oleh karena itu, muamalah adalah sesuatu hal yang penting. Dengan mempelajari fiqih muamalah bermanfaat bagi setiap muslim dalam beraktifitas khususnya dalam bidang perekonomiam agar mampu menerapkan atauran-aturan Allah dalam rangka  memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan harta, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai sebagaimana tujuan muslim pada umumnya yang senantiasa memohon doa tersebut kepada Allah.[18]




[1] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia),2011,  hlm. 18-19 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 13
[2] Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, (Surabaya: Syirkah Nur Asia, tt), hlm. 3
[3] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  hlm. 18-19
[4] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, (Jakarta : Rajawali, 1988), 2-3
[5] Ad-Dimyati, Ianah ath-Thalibin, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 2
[6] Abdul Majid, Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, (Bandung: IAIN SGD, 1986), hlm. 1
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 70-71
[8] Ibid
[9] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalahhlm. 15
[10] Ibid
[11] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, hlm. 71
[12] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 3
[13] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, hlm. 16-17
[14] Ibid, 18
[15] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, hlm. 75
[16] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, hlm. 18-19
[18] Ifa Ratnasari, http://fara-cantika.blogspot.com/2012/04/daftar-isi-bab-ipendahuluan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar