Ekonomi Syariah
H. Muhammad Yazid
Mendekonstruksi Ekonomi
Konvensional
Ekonomi
konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of
rationality, pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas ini memiliki dampak
pada tergusurnya nilai-nilai etika dan moral yang bersifat teologis.[1]
Dominasi filosofi positifisme yang demikian kuat telah melintasi batas negara
sehingga ditemukan hukum universal dalam ilmu ekonomi.
Penerapan
hukum universal dalam ekonomi memiliki potensi yang sangat kuat tidak hanya
memberangus nilai-nilai lokal yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga
melahirkan konsekuensi yang sangat luas seperti peradaban pragmatis, konsumtif,
hedonis yang merusak sendi-sendi kemanusiaan, dan modernisasi kemiskinan atau
kemiskinan terencana.[2]
Pada sisi lain, universalitas ekonomi yang diusung oleh kapitalisme memunculkan
ketergantungan yang berlebihan pada apa yang disebut profit oriented
atau capital oriented sehinga nilai-nilai lain yang bersifai inmaterial
menjadi suatu yang mustahil. Karena dijiwai oleh spirit capital oriented
yang berlebihan, maka kapitalisme lebih banyak berpihak pada sedikit kelompok
elite yang mampu mengaksesnya sehingga dalam konteks ini terjadilah kesenjangan
ekonomi yang sangat lebar antara aghniya' dan fuqara'.
Memandang
ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu yang otonom dan independen, tidak memiliki
relasi dengan nilai-nilai yang melingkupinya merupakan sebuah kekeliruan besar
dan wujud dari rasa tidak bertanggung jawab terhadap masa depan kemanusiaan.
Ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai
yang melingkupinya. Ekonomi memiliki koneksi dan berdialektika dengan nilai
sosial, budaya dan agama masyarakat, bahkan ekonomi mentransmisikan kekuatan
potensialnya, mempengaruhi, dan membentuk realitas atau lingkungan tempat di
mana ekonomi dipraktekkan.
Max
Weber sendiri telah membuktikan bahwa masyarakat Kristen, terutama sekte
Calvinis memiliki dorongan etika atau moralitas agama yang kuat sehingga
membentuk kapitalisme modern awal. Hal ini sekaligus sebagai counter atas pandangan
yang meyakini bahwa ekonomi kapitalisme modern sebagai ekonomi bebas nilai
tidak dapat diterima, sebab kapitalisme sendiri dalam kenyataan sejarahnya
justeru lahir dari semangat agama.[3]
Dengan
demikian, pemahaman dan pemikiran memiliki peran yang kuat dalam membentuk dan
mengubah cara pandang individu dalam statu masyarakat. Karena itu melepaskan
diri dari cara pandang global knowledge harus diawali dari upaya seksama
untuk mengubah paradigma pemikiran keilmuan yang telah menghegemoni selama ini,
yaitu ekonomi positifistik dan itu adalah ekonomi konvensional. Dalam realitas
yang begitu kompleks, paradigma ekonomi positivistik tidak mampu menempatkan
dirinya untuk peradaban manusia yang lebih baik dan lebih humanis.[4]
Oleh karena itu perlu kiranya kita memunculkan kesadaran konstruksi paradigma
ekonomi yang menyelamatkan harkat dan martabat manusia, paradigma yang
mengabadikan survivalitas kearifan dan kebijakan local, paradigma ekonomi yang
dapat mengembangkan pendekatan yang lebih memperhatikan moralitas kemanusiaan
dan mampu merekonstruksi bangunan keilmuan yang holistik yang bersumber dari
wahyu atau syari'ah (agama).[5]
Dalam
konteks hukum Islam, syari'ah bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif
berarti syari'ah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (Ibadah)
maupun sosial (muamalah). Ibadah
diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu
tugas manusia sebagai khalifah-Nya.[6]
Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan
main dalam kehidupan sosial.
Salah
satu paradigma ekonomi yang memperoleh apresiasi secara luas dalam beberapa
dasawarsa belakangan ini adalah paradigma Islam. Paradigma ini muncul sebagai
instrumen untuk menerobos sains positivistik. Jika positivisme hanya mengenal
realitas materi, maka paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas
lain yang melampaui materialisme, yaitu realitas spiritual.[7]
Paradigma
Islam selalu mengedepankan nilai-nilai humanis dan transendental sebagai
substansi dari nilai ajaran tauhid dan keadilan yang merupakan aksioma etika
ekonomi Islam yang sangat tepat dialamatkan pada masyarakat kapitalis moderen
yang kehilangan arah dalam menemukan makna hidup akibat telah sekian lama
diperbudak oleh materialisme dan kapitalisme.
Budaya
kapitalis dan praktek bisnis moderen sekarang tengah berada dalam krisis bak
monster yang memangsa dirinya sendiri lantaran etos dan asumsi-asumsi yang
mendasarinya tidak berkelanjutan dan tidak punya masa depan jangka panjang.
Oleh karena itu eksistensi spiritual capital sebagaimana telah
dikemukakan di atas merupakan aset terpendam dalam diri setiap individu pelaku
bisnis. Spiritual mengandung dimensi moral yang sangat dibutuhkan dalam kondisi
bisnis yang carut marut dewasa ini.
Ekonomi Syari'ah Sebagai Solusi
Firman
Allah dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian kami jadikan bagi kamu
sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.”
Islam
sebagai al-din mengandung ajaran yang Sangat komprehensif dan sempurna (syumul).
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi
juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas
menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS.
5:3, 6:38, 16:89).
Salah
satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah,
iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam
Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah
ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang
masalah perekonomian, bukan masalah
ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282
dalam surah Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52
hukum/malasah ekonomi. Bahkan al-Qur'an memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan
tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.[8]
Dua
puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,
1.Tijarah, 2. Bay’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan)
, 5. Rizq, 6. Riba, 7. Dinar, 8. Dirham, 9. Qismah
10. Mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13. Ijarah/ujrah,
14. Amwal 15. Fadhlillah 17. Akad/’ukud 18. Mizan
(timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20.
Waraq (mata uang).[9]
Nabi
Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai
hadits ia juga menyebutkan bahwa para
pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam
untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah Hadist dijelaskan “Hendaklah kamu
kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki
ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad) ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi
adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis,
Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)
Demikian
besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak
mengherankan jika ribuan kitab Islam
membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas
topik-topik mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah,
wadi’ah, wakalah, hiwalah, kafalah, jualah, ba’i
salam, istishna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang
sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu
ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama
Islam klasik sangat melimpah.
Dalam
pandangan Islam, uang hanya sebagai alat tarnsaksi ekonomi, uang bukanlah suatu
komoditi, melainkan hanya merupakan alat untuk mencapai pertambahan nilai. Hal
ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana uang
"mengembangbiakkan" uang, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam
kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan uang harus
dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung melalui transaksi
bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, atau tidak secara
langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu usaha atau seluruh
kegiatan usaha tersebut.[10]
Salah satu solusi penting yang harus
diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah
penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada
pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan
riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas
perekonomian.
Ekonomi
syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam
menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui
oleh banyak pakar ekonomi global.
Kedepan,
pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang
telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam
yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa
bertahan karena ia menggunakan sistem bagi hasil sehingga tidak mengalami negative
spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin
berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut.
Sementara
bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi,
sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam
jumlah besar lebih dari Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga
obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan
kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank
konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi
kapitalisme yang ribawi. Lalu apa lagi yang harus kita perbuat kalau
bukan memberikan peluang yang besar bagi berlakunya sistem ekonomi Islam di
negeri yang kita cintai?. Selamat berjuang, so sukses
[1] Nilai-nilai yang bersifat teologis
dipandang sebagai wilayah yang berdiri sendiri terpisah dari ekonomi, tidak
memiliki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya betul-betul menjadi
disiplin ilmu yang bebas nilai.
[1] Muhammad, Paradigma, Metodologi,
dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[1] Max Weber, Etika Protestan dan
Semangat kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak,
2007), 109
[1] M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju
Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), xxv
[1] Muhammad, Bank Syari'ah : Problem
dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[1] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank
Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 4
[1] Iwan Triyuwono, Organisasi
dan Akuntansi Syari'ah, (Yogjakarta : LKIs, 2000), 5
[1] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995),
19
[1]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2003), 11
[1]
Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri
sendiri terpisah dari ekonomi, tidak memiliki relasi dengan ekonomi. Ekonomi
pada akhirnya betul-betul menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai.
[2]
Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah,
(Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[3]
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj. Yusup
Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007), 109
[4] M.
Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman
Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), xxv
[5]
Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia,
(Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[6]
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2003), 4
[9] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam,
(Yogjakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 19
[10] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar