Selasa, 25 Agustus 2015

Ekonomi Syariah
H. Muhammad Yazid

Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional

Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of rationality, pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas ini memiliki dampak pada tergusurnya nilai-nilai etika dan moral yang bersifat teologis.[1] Dominasi filosofi positifisme yang demikian kuat telah melintasi batas negara sehingga ditemukan hukum universal dalam ilmu ekonomi.
Penerapan hukum universal dalam ekonomi memiliki potensi yang sangat kuat tidak hanya memberangus nilai-nilai lokal yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga melahirkan konsekuensi yang sangat luas seperti peradaban pragmatis, konsumtif, hedonis yang merusak sendi-sendi kemanusiaan, dan modernisasi kemiskinan atau kemiskinan terencana.[2] Pada sisi lain, universalitas ekonomi yang diusung oleh kapitalisme memunculkan ketergantungan yang berlebihan pada apa yang disebut profit oriented atau capital oriented sehinga nilai-nilai lain yang bersifai inmaterial menjadi suatu yang mustahil. Karena dijiwai oleh spirit capital oriented yang berlebihan, maka kapitalisme lebih banyak berpihak pada sedikit kelompok elite yang mampu mengaksesnya sehingga dalam konteks ini terjadilah kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara aghniya' dan fuqara'
Memandang ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu yang otonom dan independen, tidak memiliki relasi dengan nilai-nilai yang melingkupinya merupakan sebuah kekeliruan besar dan wujud dari rasa tidak bertanggung jawab terhadap masa depan kemanusiaan. Ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang melingkupinya. Ekonomi memiliki koneksi dan berdialektika dengan nilai sosial, budaya dan agama masyarakat, bahkan ekonomi mentransmisikan kekuatan potensialnya, mempengaruhi, dan membentuk realitas atau lingkungan tempat di mana ekonomi dipraktekkan.
Max Weber sendiri telah membuktikan bahwa masyarakat Kristen, terutama sekte Calvinis memiliki dorongan etika atau moralitas agama yang kuat sehingga membentuk kapitalisme modern awal. Hal ini sekaligus sebagai counter atas pandangan yang meyakini bahwa ekonomi kapitalisme modern sebagai ekonomi bebas nilai tidak dapat diterima, sebab kapitalisme sendiri dalam kenyataan sejarahnya justeru lahir dari semangat agama.[3]
Dengan demikian, pemahaman dan pemikiran memiliki peran yang kuat dalam membentuk dan mengubah cara pandang individu dalam statu masyarakat. Karena itu melepaskan diri dari cara pandang global knowledge harus diawali dari upaya seksama untuk mengubah paradigma pemikiran keilmuan yang telah menghegemoni selama ini, yaitu ekonomi positifistik dan itu adalah ekonomi konvensional. Dalam realitas yang begitu kompleks, paradigma ekonomi positivistik tidak mampu menempatkan dirinya untuk peradaban manusia yang lebih baik dan lebih humanis.[4] Oleh karena itu perlu kiranya kita memunculkan kesadaran konstruksi paradigma ekonomi yang menyelamatkan harkat dan martabat manusia, paradigma yang mengabadikan survivalitas kearifan dan kebijakan local, paradigma ekonomi yang dapat mengembangkan pendekatan yang lebih memperhatikan moralitas kemanusiaan dan mampu merekonstruksi bangunan keilmuan yang holistik yang bersumber dari wahyu atau syari'ah (agama).[5]
Dalam konteks hukum Islam, syari'ah bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syari'ah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (Ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya.[6] Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main dalam kehidupan sosial.
Salah satu paradigma ekonomi yang memperoleh apresiasi secara luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini adalah paradigma Islam. Paradigma ini muncul sebagai instrumen untuk menerobos sains positivistik. Jika positivisme hanya mengenal realitas materi, maka paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas lain yang melampaui materialisme, yaitu realitas spiritual.[7]
Paradigma Islam selalu mengedepankan nilai-nilai humanis dan transendental sebagai substansi dari nilai ajaran tauhid dan keadilan yang merupakan aksioma etika ekonomi Islam yang sangat tepat dialamatkan pada masyarakat kapitalis moderen yang kehilangan arah dalam menemukan makna hidup akibat telah sekian lama diperbudak oleh materialisme dan kapitalisme.
Budaya kapitalis dan praktek bisnis moderen sekarang tengah berada dalam krisis bak monster yang memangsa dirinya sendiri lantaran etos dan asumsi-asumsi yang mendasarinya tidak berkelanjutan dan tidak punya masa depan jangka panjang. Oleh karena itu eksistensi spiritual capital sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan aset terpendam dalam diri setiap individu pelaku bisnis. Spiritual mengandung dimensi moral yang sangat dibutuhkan dalam kondisi bisnis yang carut marut dewasa ini.

Ekonomi  Syari'ah Sebagai Solusi    
Firman Allah dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian kami jadikan bagi kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Islam sebagai al-din mengandung ajaran yang Sangat komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi. Bahkan al-Qur'an memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.[8]
Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,  1.Tijarah, 2. Bay’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. Dinar, 8. Dirham, 9. Qismah 10. Mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13. Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15. Fadhlillah 17. Akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. Waraq (mata uang).[9]
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga  menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah Hadist dijelaskan “Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu  rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad) ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hiwalah, kafalah, jualah, ba’i salam, istishna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Dalam pandangan Islam, uang hanya sebagai alat tarnsaksi ekonomi, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya merupakan alat untuk mencapai pertambahan nilai. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana uang "mengembangbiakkan" uang, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, atau tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu usaha atau seluruh kegiatan usaha tersebut.[10]
 Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian.
Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global.
Kedepan, pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistem bagi hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut. 
Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar lebih dari Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita  dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi. Lalu apa lagi yang harus kita perbuat kalau bukan memberikan peluang yang besar bagi berlakunya sistem ekonomi Islam di negeri yang kita cintai?. Selamat berjuang, so sukses
[1] Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri sendiri terpisah dari ekonomi, tidak memiliki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya betul-betul menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai.
[1] Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[1] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007), 109
[1] M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), xxv
[1] Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[1] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 4
[1] Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah, (Yogjakarta : LKIs, 2000), 5

[1] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 19 

[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 11




[1] Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri sendiri terpisah dari ekonomi, tidak memiliki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya betul-betul menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai.
[2] Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[3] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007), 109
[4] M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), xxv
[5] Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[6] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 4
[7] Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah, (Yogjakarta : LKIs, 2000), 5

[9] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 19 

[10] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 11 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar