AGAMA DAN ETIKA PEMBANGUNAN
(Legitimasi Agama Dalam Persoalan Ekologi:
Perspektif Islam)
H. Muhammad Yazid
Pendahuluan
Tulisan
ini diilhami oleh studi yang dilakukan oleh James Robertson dalam The Sane Alternative : A Choise of Future,
yaitu sehat humanistik dan ekologi.1
Sekenario ini menekankan perlunya keseimbangan (Equilibrium) dalam diri manusia pribadi, dengan orang lain, dan
antara manusia dengan alam, serta menempatkan ekologi sebagi bagian terpenting
dalam mengahadapi kehidupan manusia di masa depan. Berarti ekologi secara
ilmiah maupun empiris merupakan kehidupan yang didalamnya terdapat keharmonisan
hubungan dan kesatuan manusia dengan unsur-unsur kehidupan kosmologisnya,2 dan harus menjadi titik tolak dan
orientasi bagi kehidupan dimasa datang.
Kenapa persoalan masa depan mesti dikaitkan dengan
ekologi. Dimana pentingnya ekologi dalam konteks masa depan. Dalam abad ke XXI
ini manusia dihadapkan pada pesoalan-persoalan yang bermuara pada
masalah-masalah krisis ekologi dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan
hidupnya dimasa depan. Masalah-masalah ekologi pada dasarnya merupakan
akumulasi dari persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, seperti peledakan
penduduk (population exsplosion),
implikasi-implikasi etis dan teknis perkembangan sains dan sebagainya.
Peledakan-peledakan penduduk di negara maju maupun
berkembang tidak saja menimbulkan akibat-akibat fisik kuantitatif, misalnya
yang berhubungan dengan masalah-masalah pemukiman, ketidakaturan densitas
penduduk dan lain sebagainya, tapi juga menimbulkan akibat-akibat kualitatif,
seperti pergeseran prilaku ekologi manusia. Jika sebelumnay bersifat etis dan
estetik, yang diwujudkan dengan menjaga keseimbangan dengan lingkungannya, maka
dalam perkembangan selanjutnya prilaku manusia cenderung pragmatis dan
teknokratis dalam menggunakan dan mengembangkan lingkungan alam.
Pergeseran ini terjadi karena meningkatnya keinginan dan
kebutuhan masyarakat, akibat perkembangan populasi penduduk dan sumber alam
yang tersedia amat terbatas. Jika diperkirakan jumlah penduduk dunia pada tahun
2000 sekitar tujuh milyar,3 maka
tahun 2035 empat belas milyar dan 2062 sekitar dua puluh lima milyar, apa yang
terjadi dengan sumber daya alam. Menurut
ahli kependudukan, sumber-sumber alam di bumi hanya dapat menampung
maksimal dua belas milyar sampai lima belas milyar manusia, itupun dengan
syarat metode pertanian dan pengawetan tanah harus berstandar tinggi dan
pembagian hasil-hasil alam harus merata diseluruh dunia.
Dari perkembangan penduduk tersebut, dapat diduga
persoalan-persoalan ekologis yang akan muncul dan persoalan terkait lainnya
seperti, ekonomi, politik, kebudayaan dan teknologi. Dibidang ekonomi misalnya,
ledakan penduduk akan menimbulkan ketertinggalan hasil pembangunan.
Masalah
lainnya adalah persoalan kelangkaan (scarcity)
sumber kebutuhan manusia. Kalau sebelumnya perhatian ilmu ekonomi secara umum
diarahkan pada prilaku produksi, konsumsi dan distribusi, maka akhir-akhir ini
bergeser pada kelangkaan sumber pemuas kebutuhan manusia, seperti yang dikutip
dari ahli ekonomi neoklasik Inggris Lord Robbins pada An Essay on the nature and Significance of Economic Science.4
Calvin
Goldscheider dalam Pop[ulation,
Modernization and Social Structure,5
mengatakan bahwa dalam menghadapi perubahan masyarakat dalam bidang
kependudukan, masalah nilai-nilai mutlak perlu diperhatikan agar manusia tetap
berada dalam jati diri dan hakekat kemanusiaannya dalam menghadapi
perubahan-perubahan pola dan gaya
hidup masyarakat yang muncul berkaitan dengan perkembangan penduduk. Tidak
adanya atau semakin terreduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat
akan mempengaruhi pula prilaku masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.
Masalah ekologi
juga merupakan akumulasi dari berbagai dampak perkembangan sains dan teknologi
sekalipun tidak dapat dipungkiri betapa besar berkah sains bagi umat manusia
sehingga mendapatkan kenikmatan dan kemudahan hidup yang oleh M. Francis
Abraham dikategorikan sebagai salah satu aspek tumbuhnya perekonomian.6 Sekarang ini teknologi komunikasi
dan transportasi mengalami kemajuanm yang luar baiasa sehingga dengan mudah dan
cepat manusia melakukan komunikasi jarak jauh. Demikian cepat dan dekatnya
manusia sekarang ini, sehingga dunia menjadi semacam “desa global” (global village).
Tidak dapat dibayangkan keadaan kehidupan manusia tanpa topangan sanis dan
teknologi yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia, keberadaan manusia
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Sains dan teknologi
dikembangkan sampai pada tingkat sofistikasi
tertentu, karena berkembangnya kebudayaan manusia dan demikian pula sains dan
teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan umat manusia.
Tetapi terdapat persoalan inheren mendasar dalam perkembangan sains dan
teknologi ketika terjadi perkembangan yang tidak lagi evolutif tapi revolutif
seperti yang dikatakan Thomas Khun dalam “The
Structure of Scientific Revolution”.
Perkembangan awal sains yang evolutif (sains tradisional) tidak banyak
menimbulkan persoalan bagi kehidupan manusia. Karena masih bersifat
evolusioner, tidak drastis, sains tradisional terjalin dalam budaya yang ada,
dan memiliki kemungkinan pembaharuan yang sempit dan terarah pada manusia
dengan memperhatikan kenyamanan, keamanan penerimaan dan kesejahteraan pemakainya.
Dengan watak perkembangan yang demikian, persoalan etika sebagai persoalan fundamental dalam perkembangan sains dan
teknologi belum menjadi persoalan pelik, karena sains dan teknologi justeru
dikembangan dalam kerangka etika kemanusia universal.
Keadaan ini mengalami perubahan fundamenmtal setelah sanis dan teknologi
meninggalkan watak evolutifnya menjadi revolutif. Pertimbangan etika yang
mempersoalkan baik-buruk (aksiologi)
diabaikan. Hal ini dapat dilihat pada salah satu tolak ukur kerja keilmuan yang
didasarkan pada obyektifitas, yakni kebenaran ilmu dapat diterima apabila telah
dipisahkan dari segala pertimbangan etika yang dianggap mengurangi obyektifitas
dan validitas ilmu.
Menjauhnya sains dan teknologi dari pertimbangan etika seringkali mendatangkan
akibat-akibat yang sangat buruk bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun di
masa mendatang. Sebuah kenyataan paradoksal apabila dilihat dari motivasi
historis dikembangkannya sains dan teknologi sebagai upaya liberalisasi dan
emansipasi manusia dari segala mitologisasi
kosmologis. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari sains dan teknologi yang
demikian ini semakin memperburam wajah peradaban modern dimana kita hidup
sekarang.
Berangkat dari paparan ulasan di atas dalam kesempatan ini penulis mencoba
menulis sebuah catatan kecil dalam kaitan pembangunan yang berwawasan
lingkungan dan kependudukan. Namun karena disiplin ilmu agama semakin aktual
dalam era kini, maka dalam uraian ini akan memfokuskan diri dalam kajian Agama
(Islam).
Kerangka
Pemikiran
Rusaknya ekologi bumi sebagaimana yang diuraikan di atas tidak lain adalah
gambaran yang nyata dari dampak krusial yang menjadi problema global kehidupan
modern. Rusaknya lingkungan hidup tidak hanya oleh kesenjangan nilai pada
aksiologi sains, sebagaimana diduga oleh kebanyakan para ahli, tetapi ternyata
lebih oleh paradigma saintifik modern yang dikembangkan Barat. Pendekatan
ontologisnya yang sangat fenomenal, melahirkan filsafat mengenai struktur dan
realitas yang sangat mekanistis dan materialistis yang mereduksi nuansa
spiritualnya.
Kekuasaan mutlak manusia atas alam akan melahirkan antroposentrisme, salah
satu produk modernisme, dimana manusia menjadi pusat penentu dari semua nilai
yang diberlakukan terhadap alam. Netralitas-etik sains dan alam ini kemudian
mewarnai teori epistimologi dan aksiologi.
Manusia dan alam dipisahkan secara diametral dari kesatuan kosmos. Sains
ditegakkan atas epistimologi yang memandang realitas alam sebagai sesuatu yang
tak bernilai. Epistimologi tersebut bercirikan rasionalisme, empirisme,
obyektivesme, dan netralitas-etik dengan derajat kebenaran yang tak perlu
digugat lagi, karena ia telah benar dengan sendirinya.
Prinsip-prinsip epistimologi tersebut di atas menjadi akar timbulnya krisis
kehidupan masyarakat modern, baik pada ekosistem sosial maupun material. Lebih
jauh netralitas-etik dalam epistimologi menghajatkan ketidakhadiran Tuhan dalam
alam, Tuhan dianggap telah pensiun. Aksiologi sains modern menjadi telanjang
dari nilai-nilai etis ketuhanan (ilahiyah).
Pengembangan aspek nilai dalam mengolah alam hanya didassarkan pada sifat
utilitarian sains yang menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan material dan
bersifat puas-sesaat.
Oleh karena itu dalam mendeskripsikan tulisan dalam kajian ini --salah
satu-- acuan teori yang dijadikan sebagai kerang pikir adalah teori
modernisasi-nya Alex Inkeles dan David H. Smith. Dalam teori ini pada dasarnya
membicarakan tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting dalam
menopang keberhasilan pembangunan. Menurutnya pembangunan bukan sekadar perkara
pemasokan modal dan sains-teknologi saja, tetapi yang tidak kalah penting dan
mendasar adalah faktor manusia yang dapat mengembangkan sarana material
tersebut supaya menjadi produktif.7 Untuk
itu dalam membangun kehidupan modern ini dibutuhkan juga manusia-manusia yang
mempunyai wawasan modern pula yang dalam istilah Inkeles dikenal dengan sebutan
manusia modern.
Dalam kaitan ini Alex Inkles dan David H. Smith memberikan ciri-ciri
manusia yang dimaksud adalah --antara lain-- keterbukaan terhadap pengalaman
dan ide baru, berorientasi kemasa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan
merencanakan, percaya bahwa manusia itu bisa menguasai alam dan bukan
sebaliknya.8 Disamping itu juga tori
modernisasi David McClelland dengan konsep n-Ach-nya, Modernisasi Max Weber
dengan Etika Protestan,
Rumusan
Masalah
Untuk mengkaji masalah-masalah
yang berkaitan dengan agama dan ekologi, maka penelitian ini memfokuskan pada
masalah berikut :
1.
Bagaimana
konsep pembangunan ekologi menurut Alex Inkeles
2.
Faktor
apa saja yang berkaitan dengan pembangunan ekologi
3.
Bagimana
pandangan Islam tentang pembangunan ekologi
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk
mengetahui konsep pembangunan ekologi menurut Alan Inkeles
2.
Untuk
mengetahui factor-faktor yang berpengaruh dalam pembangnan ekologi
3.
Untuk
mengetahui pandangan Islam tentang pembangunan ekologi
Pembahasan
Seperti telah diuraikan diatas, persoalan krisis ekologi merupakan
akumulasi persoalan kemanusiaan lainnya, diantaranya, masalah kependudukan dan
aplikasi sains dan teknologi. Namun pembahasan di atas agaknya belum
mengantarkan pada akar-akar persoalan yang historis, filosofis dan spiritual.
Misalnya di bidang teknologi sebagai variabel persoalan ekologi, mengapa
terjadi perkembangan yang merusak seperti telah digambarkan di atas, belum
terdapat penjelasan yang mendasar. Hal ini perlu dilakukan karena pembahasan
tentang kaitan ekologi dan agama pada dasarnya merupakan persoalan historis,
filosofis dan spiritual.
Krisis ekologi sesungguhnya bersumber dari asumsi dominan manusia atas alam
yang diwujudkan dengan pengembangan sains dan teknologi dalam rangka eksplorasi
dan eksploitasi alam untuk kepentingan manusia. Hal ini telah melahirkan dua
wujud yang sama-sama cenderung destruktif. Pertama, melahirkan wujud sains dan
teknologi yang angkuh, dan kedua sebagai implikasinya, melahirkan wujud ekologi
yang kacau, karena sains dan teknologi dikembangkan bukan untuk menjaga
keseimbangan alam, tapi sebaliknya.
Secara historis dan filosofis kedua wujud tersebur berakar pada tipikal
pandangan rasionalisme dan humanisme barat yang menempatkan manusia sebagai
segala-galanya. Rene Descartes sebagai peletak dasar pemikiran filosofis ini
pada dasarnya memperkokoh kembali logika Aristotelian. Filsafatnya (paradigma
Cartesian) berdiri di atas adagium cogito ergosum (I Think, therefore Iam).9
Menurut Ignas Kleden pandangan filsafat ini melahirkan dua akibat mendasar.
Pertama, unsur cogito menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan yang
sangat tinggi. Kedua, unsur ego menjadi sangat dominan. Seluruh usaha berpikir
manusia bukan untuk membuktian the other being, ada yang lain, tetapi yang paling utama untuk membuktikan
ada sang ego.10
Berpikir selalu dihubungkan dengan kepentingan ego dan kepentingan hal-hal
lain ditentukan oleh ego tersebut. Para filosofis modern menuduh Descartes
telah membangun egologi, yaitu filsafat yang bertolak dari ego dan berakhir
pada ego. Jika perspektif logika aristetolian dan Descartes ini dihubungkan
dengan persoalan ekologi, maka alam perlu diramalkan dan dikuasai, karena
memang kedudukan alam yang res exstensa ada di luar keberadaan manusia,
tergantung dan ditentukan oleh res cogitans yaitu manusia yang berpikir.
Jadi persoalan menjadi demikain mendasar karena itu perspektif ekonomis,
politis dan teknologis saja tidak cukup untuk menanggulangi krisis ekologi.
Maka persoalannya adalah bagamana menbangun landasan berpikir baru yang dapat
memberikan penjelasan paradigmatis tentang kedudukan dan hubungan manusia dan
alam yang harmonis berkesinambungan. Hal ini dapat diperoleh dari (jalan) agama
sebagai sumber ajaran yang perennealistis.
Islam adalah agama yang memiliki misi universal; memberi rahmat untuk
semesta alam (rahmatan li al alamin)
(Q.S : 21;107), telah memberikan pandangan sistematis dan komprehensif tentang
korelasi Tuhan, manusia dan alam. Boleh dikata tema pokok al-Qur’an (major themes of the Qur’an) adalah
disekitar tiga persoalandengan segala dialetika antara ketiganya.11 Dengan demikian Islam memiliki
kerangka dasar etika ekologi yang relevan. Persoalannya terletak seberapa jauh
kreatifitas intlektual umat islam
mengelaborasi persoalan ini secara mendalam dan serius dalam suatu
kajian etik yang universal. Dan yang lebih penting lagi adalah mengagendakannya
dalam persoalan operasional sehingga pesan Islam tidak berhenti di langit suci.
Secara paradigmatis hubungan Tuhan, manusia dan alam terletak dalam doktrin
Islam tentang tauhid. Tauhid dalam Islam seperti dikatakan oleh Ismail Raji al
Faruqi dalam Tawhid: Its Implication for
Thought and Life merupakan pandangan dunia yang memberikan penjelasan
holistis seluruh realitas.12
Dalam pandangan dunia tauhid terdapat tiga prinsip penting tentang
realitas. Pertama, dualitas yang menjelaskan bahwa realitas terdiri hanya dari
dua jenis; kholiq dan makhluk. Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta
seisinya. Dengan kedudukan ini makhluk manusia tidak mungkin menjadi pencipta
yang menguasai seluruh realitas secara absolut. Ia harus tunduk pada apa yang
menjadi ketentuan Al-Khaliq.
Kedua ideasionalitas. Meskipun dalam prinsip pertama terdapat pemisahan
yang tegas dan jelas, tapi hanya merupakan pemisahan yang semata-mata bersifat
ontologia. Diantara keduanya terdapat hubungan ideasinal yang memungkinkan
manusia dapat memahami-Nya bukan dalam pengertian materi, tapi hasil ciptaan
Tuhan yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang aksiomatik berupa
hukum alam (sunnatullah).
Ketiga, teleologi. Pemahaman manusia dilakukan dalam kerangka relasi-relasi
ideasional bukan bersifat positifistis atau materialistis. Pandangan yang
disebut terkhir ini kelas-jelas bertentangan dengan prinsip tauhid yang
memandang bahwa realitas bersifat teleologis, artinya mempunyai tujuan melayani
penciptanya, dan melakukan hal itu berdasarkan rancangan. Dalam al-Qur’an telah
dijelaskan bahwa seluruh realitas itu tidak diciptakan dengan sia-sia (Q.S; 3 :
191), akan tetapi mempunyai tujuan
universal tertentu (Q.S; 32 : 7).
Denga berdasar pada pandangan dunia tauhid di atas dapat dijelaskan lebih
rinci bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya dalam lingkungan alam
semesta, dan bagaimana semestinya alam diperlakukan. Dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa manusia diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di atas bumi (khalifah) (Q.S; 2 : 30) dan juga
sebagai hamba Allah (abdullah).13
Sebagai khalifah manusia mempunyai kedudukan yang teramat istimewa
dibanding mahluk-mahluk lainnya. Keistimewaan ini bisa dilihat dari potensi
yang dibrikan dan kedudukannya di alam semesta. Dijadikannya manusia oleh Allah
sebagai khalifah tentunya dengan konsekuensi pemberian potensi yang inheren
dalam penciptaannya.
Potensi itu berupa kemampuan manusia mengenal dan memahami lingkungan alam
sekitarnya sehingga dapat menguasai dan mengembangkan sains dan teknologi. Agar
sains itu dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan-ketentuan etik
yang ada, Allah memberikan kemampuan tidak kalah penting yang berupa kalimat
(Q.S; 2: 35-39) sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Dalam kitab suci
al-Qur’an kalimat tersebut merupakan ajaran-ajaranyang diberikan oleh Allah
kepada manusiasehingga semakin lengkaplah kemampuan yang diberikan oleh Allah
kepada manusia.
Dalam bahasa kontemporer, orientasi ilmiah manusia (kemampuan mengenal dan
memahami sesuatu) dilengkapi dan harus dibimbing oleh nilai ruhaniah, yaitu
nilai yang memancar dari rasa makna paling mendalam dan sejati dari hidup
manusia, berasaskan kesadaran sebagai mahluk yang berasal dari Tuhan dan yang
pasti akan kembali kepada-Nya.14
Kedudukan manusia sebagai khalifah dengan berbagai potensi yang dimilikinya,
telah disempurnakan dengan kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika pada
kedudukan yang pertama manusia dituntut aktif untuk memelihara dan memakmurkan
alam dalam bentuk pem,budidayaan yang konstruktif bagi kehidupan semesta, maka pada kedudukan yang kedua
manusia dituntut pasrah (hanief)
kepada Allah. Ia harus mengikuti seluruh perintah dan menjahui
apa-apa yang dilarang-Nya.
Makna kedudukan manusia yang kedua terhadap kedudukan pertama akan menuntut
manusia melakukan transendensi dalam merealisasikan fungsi kekhalifahannya.
Tanpa ditopang dengan kedudukannya sebagai abdullah, kekhalifahan manusia akan
akan berakibat pada sikap antroposentrisme mutlak, yang dikritik sebagai yang
paling bertanggung jawab terhadap krisi ekologi sekarang ini. Kedudukan ini
akan memberikan kesadaran etis pada diri manusia bahwa kekhalifahan yang
diterimanya merupakan amanat dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan kelak
dikemudian hari pada hari pengadilan (yaum
al-Hisab).
Semua kedudukan di aats membawa konsekuensi ditundukkannya (taskhir) alam bagi manusia seperti yang
termuat dalam ayat “apakah kamu tidak melihat bahwa Allah menundukkan bagimu
apa yang ada di bumi (Q.S 22 : 65). Konsep taskhir dalam al-Qur’an tidak dapat
diartikan penaklukan alam sebagaimana diklaim oleh sejumlah kaum muslimin
modern yang haus kekuasaan seperti yang dijanjikan sains modern kepada mereka.
Dengan ayat itu dimaksudkan bahwa dominasi atas segala apa yang ada di bumi
diperbolehkan bagi manusia sejauh tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Konsep Taskhir pada dasarnya
merupakan peneguhan (reinforcement) Allah
terhadap kedudukan manusia sebgai khalifah. Dengan demikian, konsep taskhir
ttidak dapat dipisahkan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan abdullah.
Dalam pengertian yang lain, ditundukkanny alam ini agar manusia terhindar dari
segala bentuk mitologisaasi alam yang justeru akan memperlemah kemampuan
manusia untuk membudidayakan sumber daya alam yang ada. Akibat lebih jauh dari
mitologisasi ini adalah alam akan dijadikan sesembahan.
Tugas manusia tidak hanya mengeruk kekayaan alam seperti yang dilakukan
Barat yang kapitalis, tetapi juga memelihara keharmonisan dan keseimbangannya.
Keseimbangan kosmologis akan tetap terpelihara jika manusia dapat berlaku adil
dan amanah terhadap alam. Dalam kata adil tersirat di dalamnya pengertian
keseimbangan (mizan). Dalam
pengertian yang lebih operasional, sikap adil terefleksikan pada tetap
memperhatikan keseimbangan kosmologis ketika manusia melakukan eksplorasi dan eksploiatasi
terhadap alam. Konkritnya, ekplorasi dan eksploitasi harus dibarengi dengan
upaya konversi sehingga keseimbangan alam tetap terjaga terus-menerus.
Demikianlah beberapa pandangan dasar Islam seputar kedudukan manusia dan alam
sebagai poros utama persoalan ekologis.
Persoalannya sekarang adalah vagaimana mengagendakannya sebagai suatu yang
lebih operasional dan struktural. Sebuah persoalan yang tidak sederhana karena
banyak berhubungan dengan infrastruktur yang ada baik ekonomi, politik dan teknologi.
Dalam hal ini, dunia Islam perlu belajar secara arif dan kritis terhadap
pembangunan infrastruktur yang dikembangkan oleh Barat, baik yang kapitalis
maupun yang sosialis-komunis yang dianggap banyak menimbulkan kerusakan
ekologis.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di tarik sebuah simpulan sebagai berikut;
1.
Untuk mewujudkan pembangunan
yang berwawasan lingkungan dan kependudukan, maka hubungan manusia dengan alam
harus berangkat dengan pandangan dunia tauhid, yaitu bagaimana seharusnya
manusia memposisikan dirinya dalam lingkungan alam semesta, dan bagaimana
semestinya alam diperlakukan. Tugas manusia tidak hanya
mengeruk kekayaan alam seperti yang dilakukan Barat yang kapitalis, tetapi juga
memelihara keharmonisan dan keseimbangannya. Keseimbangan kosmologis akan tetap
terpelihara jika manusia dapat berlaku adil dan amanah terhadap alam. Dalam
bahasa kontemporer, orientasi ilmiah manusia
dilengkapi dan harus dibimbing oleh nilai ruhaniah, yaitu nilai yang memancar dari rasa makna paling mendalam
dan sejati dari hidup manusia, berasaskan kesadaran sebagai mahluk yang berasal
dari Tuhan dan yang pasti akan kembali kepada-Nya. Kedudukan manusia sebagai
khalifah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, telah disempurnakan dengan
kedudukannya sebagai hamba Allah.
2.
Tanpa
berbekal prinsip-prinsip tersebut dengan sendiri akan timbul krisis kehidupan masyarakat
modern, baik pada ekosistem sosial maupun material. Lebih jauh netralitas-etik
dalam epistimologi menghajatkan ketidakhadiran Tuhan dalam alam, Tuhan dianggap
telah pensiun. Aksiologi sains modern menjadi telanjang dari nilai-nilai etis
ketuhanan (ilahiyah).
3.
Oleh
karena itu dalam melangsungkan pembangunan peran manusia adalah sebagai
komponen penting yang tidak dapat di tawar-tawar lagi dalam menopang dan
mewujudkan keberhasilan pembangunan. Pembangunan bukan sekadar perkara
pemasokan modal dan sains-teknologi saja, tetapi yang tidak kalah penting dan
mendasar adalah faktor manusia. Untuk itu dalam membangun kehidupan modern ini
dibutuhkan juga manusia-manusia yang mempunyai wawasan modern.
Penutup
Belajar dari tulisan di atas –dalam kesempatan ini-- penulis mencoba
memberikan masukan dan sekaligus merekomendasikan kepada pihak-pihak yang
berwenang, bahwa dalam melaksanakan pembangunan hendaklah selalu menitik
beratkan pada aspek lingkunmgan dan kependudukan, karena tanpa prinsip ini
segala yang diagendakan tidak akan berjalan dengan baik dan lancar.
Dalam mewujudkan
target tersebut aspek yang penting dan perlu mendapatperhatian yang serius
adalah aspek manusia, yang notabene
sebagai pelaku pembangunan. Hal ini di karenakan manusia
tidak bisa menjadi wasit atas prilakunya sendiri. Artinya dia tidak akan
mungkin dapat menjadi pusat penentu dari seluruh nilai-nilai etik, melainkan
harus tetap terikt moralitas yang tinggi dari Tuhannya, dan inilah yang
mendasari konsep Islam, sehingga memanfaatkan alam semesta dengan
etika-transendental-religius menjadi tujuan utama yang harus dicapai manusia.
Etika yang demikian akan memberikan harapan bahwa jika Islam dikaji dan
digali dengan sungguh-sungguh, maka akar teosofinya akan memberikan konsep
alternatif yang memiliki tradisi etis di dalam sains, baik ontologi,
epistemologi maupun aksiologinya sehingga mampu menjadi antisipasi konsptual
alternatif bagi krisis ekologi dewasa ini.
Mengakhiri
tulisan ini, perlu kiranya kami ketengahkan firman Allah yang dapat kia jadikan sebagai penggeliat
jiwa dalam melaksanakan kebijakan pembangunan dan landasan dalam setiap usaha
menyususn langkah-langkah teoritis dan praktis yang berkenaan dengan
pemanfaatan alam.
“Telah tampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka ke jalan yang lurus.
Katakanla (wahai Muhammad) “adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan
bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kabanyakan dari mereka itu adalah
orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu
kepada dasar pandangan hidup yang lurus (din al-Islam) sebelum datang dari
Allah suatu hari yang tak dapat ditolak; pada hari itu mereka terpisah-pisah.”
(QS. 30 41-43).
Akhirnya mudah-mudahan Allah
senantiasa membimbing kita kejalan yang di ridlai-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi,
Ismail Raji, 1988, Tauhid, terj. Tim terjemah Pustaka Salman, Bandung. Pustaka Salman.
Abraham, M. Francis, 1991, Modernisasi
di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan, terj. M. Rusli Karim, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Arief Budiman, 1995,Teori Pembangunan
Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Anton Bakker,
1995, Kosmologis dan Ekologi: Filsafat
Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia, Yogyakarta, Kanisius.
Calvin Goldsheider, 1971, Population, Modenization and Social
Structure,Little Borown and Company Boston.
Fazlur Rahman,
1983, Major Themes of the Qur’an,
terj. Anas
Mahyudin, Bandung, Pustaka.
Ignas Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
Jakarta, LP3ES.
James
Robertson, 1983, The Sane Alternative : A
Choce of Future, Rever Basin Publishing Co.
J.W. Schoorl, 1991, Modernisasi:
Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terj. Soekadijo, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
J.E. Goldthorpe,1992, Sosiologi Dunia
Ketiga: Kesenjanan dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Kuhn, Thomas S,
1989, The Structur of Scientific
Revolution, terj. Tjun Suryaman, Bandung,
Remaja Karya.
Myron Weiner
(ed.), 1994, Modernisasi Dinamika
Pertumbuhan, terj. Tim Gadjah Mada University, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Nur Cholis Madjid, 1993, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina,
Jakarta.
Nur Cholis
Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan
Keindonediaan, Bandung,
Mizan.
Norman Long,
1992, Sosiologi Pembangunan Pedesaan,
terj. Tim Bina Aksara, Jakarta, Bina Aksara.
Quraish Shihab, 1992, Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung,
Mizan.
Sugihen, Bahrein T., 1997, Sosiologi
Pedesaan: Suatu Pengantar, Jakarta, Raya Grafindo Persada.
Syamsul Arifin dkk, 1996, Spiritualisasi
Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta, SIPRESS.
Taha, Mahmoud Mohamed, 1996, Syari’ah Demokratik, terj. Nur Rachman,
Surabaya, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur’an Republik Indonesia,
1978, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia.
1 Lih. James Robertson, The
Sane Alternative : A Choce of Future, Rever Basin Publishing Co. 1983
2 Lih. Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah
Demokratik, terj. Nur Rachman, eLSAD, Surabaya, 1996. h,
111.
3 Pertumbuhan penduduk rata-rata di negara berkembang umumnya masih
diatas angka 2persen pertahun sehingga jumlah penduduk di planet bumi ini sudah
mencapai lebih enam milyar menjelang akhir abad 20, lih. J.W. Schoorl, Modernisasi:
Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terj.
Soekadijo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, h, 256.juga Bahrein T.
Sugihen, Sosiologi Pedesaan: Suatu
Pengantar, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 1997, h, 87.
4 Lih. Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa
Depan, SIPRESS, Yogyakarta, 1996, h, 179.
5
Lih. Calvin Goldscheider, Little Borown and Company Boston 1971.
6 Lih. M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Umum Pembangunan,
terj. M.
Rusli Karim, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, h, 197.
7 Lih. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995, h, 34. Lih, juga Myron Weiner (ed.), terj. Tim Gadjah Mada University, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Gadjah
Mada University Press, 1994, h, 102, dan juga J.E. Goldthorpe,Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjanan dan
Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, h, 382.
8 Ibid, h,
35
9 Lih. Syamsul Arifin dkk, Loc.cit, h, 181
10 Lih. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987, h, 183.
11
Lih. Fazlur Rahman, Major Themes of the
Qur’an, terj. Anas
Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1983, h, 73.
12 Lih. Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, Pustaka Salman, Bandung, 1988,
h, 87.
13 Lih. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Mizan, Bandung, 1992, h, 291.
14 Lih. Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina,
Jakarta, 1992, h, 91, juga Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, bandung,
1987, h, 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar