Jumat, 12 September 2014

Ekologi Dalam Islam



AGAMA DAN ETIKA PEMBANGUNAN
(Legitimasi Agama Dalam Persoalan Ekologi: Perspektif Islam)

H. Muhammad Yazid


Pendahuluan

Tulisan ini diilhami oleh studi yang dilakukan oleh James Robertson dalam The Sane Alternative : A Choise of Future, yaitu sehat humanistik dan ekologi.1 Sekenario ini menekankan perlunya keseimbangan (Equilibrium) dalam diri manusia pribadi, dengan orang lain, dan antara manusia dengan alam, serta menempatkan ekologi sebagi bagian terpenting dalam mengahadapi kehidupan manusia di masa depan. Berarti ekologi secara ilmiah maupun empiris merupakan kehidupan yang didalamnya terdapat keharmonisan hubungan dan kesatuan manusia dengan unsur-unsur kehidupan kosmologisnya,2 dan harus menjadi titik tolak dan orientasi bagi kehidupan dimasa datang.
Kenapa persoalan masa depan mesti dikaitkan dengan ekologi. Dimana pentingnya ekologi dalam konteks masa depan. Dalam abad ke XXI ini manusia dihadapkan pada pesoalan-persoalan yang bermuara pada masalah-masalah krisis ekologi dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidupnya dimasa depan. Masalah-masalah ekologi pada dasarnya merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, seperti peledakan penduduk (population exsplosion), implikasi-implikasi etis dan teknis perkembangan sains dan sebagainya.
Peledakan-peledakan penduduk di negara maju maupun berkembang tidak saja menimbulkan akibat-akibat fisik kuantitatif, misalnya yang berhubungan dengan masalah-masalah pemukiman, ketidakaturan densitas penduduk dan lain sebagainya, tapi juga menimbulkan akibat-akibat kualitatif, seperti pergeseran prilaku ekologi manusia. Jika sebelumnay bersifat etis dan estetik, yang diwujudkan dengan menjaga keseimbangan dengan lingkungannya, maka dalam perkembangan selanjutnya prilaku manusia cenderung pragmatis dan teknokratis dalam menggunakan dan mengembangkan lingkungan alam.
Pergeseran ini terjadi karena meningkatnya keinginan dan kebutuhan masyarakat, akibat perkembangan populasi penduduk dan sumber alam yang tersedia amat terbatas. Jika diperkirakan jumlah penduduk dunia pada tahun 2000 sekitar tujuh milyar,3 maka tahun 2035 empat belas milyar dan 2062 sekitar dua puluh lima milyar, apa yang terjadi dengan sumber daya alam. Menurut  ahli kependudukan, sumber-sumber alam di bumi hanya dapat menampung maksimal dua belas milyar sampai lima belas milyar manusia, itupun dengan syarat metode pertanian dan pengawetan tanah harus berstandar tinggi dan pembagian hasil-hasil alam harus merata diseluruh dunia.
Dari perkembangan penduduk tersebut, dapat diduga persoalan-persoalan ekologis yang akan muncul dan persoalan terkait lainnya seperti, ekonomi, politik, kebudayaan dan teknologi. Dibidang ekonomi misalnya, ledakan penduduk akan menimbulkan ketertinggalan hasil pembangunan.
Masalah lainnya adalah persoalan kelangkaan (scarcity) sumber kebutuhan manusia. Kalau sebelumnya perhatian ilmu ekonomi secara umum diarahkan pada prilaku produksi, konsumsi dan distribusi, maka akhir-akhir ini bergeser pada kelangkaan sumber pemuas kebutuhan manusia, seperti yang dikutip dari ahli ekonomi neoklasik Inggris Lord Robbins pada An Essay on the nature and Significance of Economic Science.4
Calvin Goldscheider dalam Pop[ulation, Modernization and Social Structure,5 mengatakan bahwa dalam menghadapi perubahan masyarakat dalam bidang kependudukan, masalah nilai-nilai mutlak perlu diperhatikan agar manusia tetap berada dalam jati diri dan hakekat kemanusiaannya dalam menghadapi perubahan-perubahan pola dan gaya hidup masyarakat yang muncul berkaitan dengan perkembangan penduduk. Tidak adanya atau semakin terreduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat akan mempengaruhi pula prilaku masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.
Masalah ekologi juga merupakan akumulasi dari berbagai dampak perkembangan sains dan teknologi sekalipun tidak dapat dipungkiri betapa besar berkah sains bagi umat manusia sehingga mendapatkan kenikmatan dan kemudahan hidup yang oleh M. Francis Abraham dikategorikan sebagai salah satu aspek tumbuhnya perekonomian.6 Sekarang ini teknologi komunikasi dan transportasi mengalami kemajuanm yang luar baiasa sehingga dengan mudah dan cepat manusia melakukan komunikasi jarak jauh. Demikian cepat dan dekatnya manusia sekarang ini, sehingga dunia menjadi semacam “desa global” (global village).
Tidak dapat dibayangkan keadaan kehidupan manusia tanpa topangan sanis dan teknologi yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia, keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Sains dan teknologi dikembangkan sampai pada tingkat sofistikasi tertentu, karena berkembangnya kebudayaan manusia dan demikian pula sains dan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan umat manusia. Tetapi terdapat persoalan inheren mendasar dalam perkembangan sains dan teknologi ketika terjadi perkembangan yang tidak lagi evolutif tapi revolutif seperti yang dikatakan Thomas Khun dalam “The Structure of Scientific Revolution”.
Perkembangan awal sains yang evolutif (sains tradisional) tidak banyak menimbulkan persoalan bagi kehidupan manusia. Karena masih bersifat evolusioner, tidak drastis, sains tradisional terjalin dalam budaya yang ada, dan memiliki kemungkinan pembaharuan yang sempit dan terarah pada manusia dengan memperhatikan kenyamanan, keamanan penerimaan dan kesejahteraan pemakainya. Dengan watak perkembangan yang demikian, persoalan etika sebagai persoalan fundamental dalam perkembangan sains dan teknologi belum menjadi persoalan pelik, karena sains dan teknologi justeru dikembangan dalam kerangka etika kemanusia universal.
Keadaan ini mengalami perubahan fundamenmtal setelah sanis dan teknologi meninggalkan watak evolutifnya menjadi revolutif. Pertimbangan etika yang mempersoalkan baik-buruk (aksiologi) diabaikan. Hal ini dapat dilihat pada salah satu tolak ukur kerja keilmuan yang didasarkan pada obyektifitas, yakni kebenaran ilmu dapat diterima apabila telah dipisahkan dari segala pertimbangan etika yang dianggap mengurangi obyektifitas dan validitas ilmu.
Menjauhnya sains dan teknologi dari pertimbangan etika seringkali mendatangkan akibat-akibat yang sangat buruk bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun di masa mendatang. Sebuah kenyataan paradoksal apabila dilihat dari motivasi historis dikembangkannya sains dan teknologi sebagai upaya liberalisasi dan emansipasi manusia dari segala mitologisasi kosmologis. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari sains dan teknologi yang demikian ini semakin memperburam wajah peradaban modern dimana kita hidup sekarang.
Berangkat dari paparan ulasan di atas dalam kesempatan ini penulis mencoba menulis sebuah catatan kecil dalam kaitan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kependudukan. Namun karena disiplin ilmu agama semakin aktual dalam era kini, maka dalam uraian ini akan memfokuskan diri dalam kajian Agama (Islam).

Kerangka Pemikiran
Rusaknya ekologi bumi sebagaimana yang diuraikan di atas tidak lain adalah gambaran yang nyata dari dampak krusial yang menjadi problema global kehidupan modern. Rusaknya lingkungan hidup tidak hanya oleh kesenjangan nilai pada aksiologi sains, sebagaimana diduga oleh kebanyakan para ahli, tetapi ternyata lebih oleh paradigma saintifik modern yang dikembangkan Barat. Pendekatan ontologisnya yang sangat fenomenal, melahirkan filsafat mengenai struktur dan realitas yang sangat mekanistis dan materialistis yang mereduksi nuansa spiritualnya.
Kekuasaan mutlak manusia atas alam akan melahirkan antroposentrisme, salah satu produk modernisme, dimana manusia menjadi pusat penentu dari semua nilai yang diberlakukan terhadap alam. Netralitas-etik sains dan alam ini kemudian mewarnai teori epistimologi dan aksiologi.
Manusia dan alam dipisahkan secara diametral dari kesatuan kosmos. Sains ditegakkan atas epistimologi yang memandang realitas alam sebagai sesuatu yang tak bernilai. Epistimologi tersebut bercirikan rasionalisme, empirisme, obyektivesme, dan netralitas-etik dengan derajat kebenaran yang tak perlu digugat lagi, karena ia telah benar dengan sendirinya.
Prinsip-prinsip epistimologi tersebut di atas menjadi akar timbulnya krisis kehidupan masyarakat modern, baik pada ekosistem sosial maupun material. Lebih jauh netralitas-etik dalam epistimologi menghajatkan ketidakhadiran Tuhan dalam alam, Tuhan dianggap telah pensiun. Aksiologi sains modern menjadi telanjang dari nilai-nilai etis ketuhanan (ilahiyah). Pengembangan aspek nilai dalam mengolah alam hanya didassarkan pada sifat utilitarian sains yang menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan material dan bersifat puas-sesaat.
Oleh karena itu dalam mendeskripsikan tulisan dalam kajian ini --salah satu-- acuan teori yang dijadikan sebagai kerang pikir adalah teori modernisasi-nya Alex Inkeles dan David H. Smith. Dalam teori ini pada dasarnya membicarakan tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting dalam menopang keberhasilan pembangunan. Menurutnya pembangunan bukan sekadar perkara pemasokan modal dan sains-teknologi saja, tetapi yang tidak kalah penting dan mendasar adalah faktor manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif.7 Untuk itu dalam membangun kehidupan modern ini dibutuhkan juga manusia-manusia yang mempunyai wawasan modern pula yang dalam istilah Inkeles dikenal dengan sebutan manusia modern.
Dalam kaitan ini Alex Inkles dan David H. Smith memberikan ciri-ciri manusia yang dimaksud adalah --antara lain-- keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi kemasa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia itu bisa menguasai alam dan bukan sebaliknya.8 Disamping itu juga tori modernisasi David McClelland dengan konsep n-Ach-nya, Modernisasi Max Weber dengan Etika Protestan,

Rumusan Masalah

Untuk mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan agama dan ekologi, maka penelitian ini memfokuskan pada masalah berikut :
1.        Bagaimana konsep pembangunan ekologi menurut Alex Inkeles
2.        Faktor apa saja yang berkaitan dengan pembangunan ekologi
3.        Bagimana pandangan Islam tentang pembangunan ekologi

Tujuan Penelitian

1.        Untuk mengetahui konsep pembangunan ekologi menurut Alan Inkeles
2.        Untuk mengetahui factor-faktor yang berpengaruh dalam pembangnan ekologi
3.        Untuk mengetahui pandangan Islam tentang pembangunan ekologi

Pembahasan
Seperti telah diuraikan diatas, persoalan krisis ekologi merupakan akumulasi persoalan kemanusiaan lainnya, diantaranya, masalah kependudukan dan aplikasi sains dan teknologi. Namun pembahasan di atas agaknya belum mengantarkan pada akar-akar persoalan yang historis, filosofis dan spiritual. Misalnya di bidang teknologi sebagai variabel persoalan ekologi, mengapa terjadi perkembangan yang merusak seperti telah digambarkan di atas, belum terdapat penjelasan yang mendasar. Hal ini perlu dilakukan karena pembahasan tentang kaitan ekologi dan agama pada dasarnya merupakan persoalan historis, filosofis dan spiritual.
Krisis ekologi sesungguhnya bersumber dari asumsi dominan manusia atas alam yang diwujudkan dengan pengembangan sains dan teknologi dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi alam untuk kepentingan manusia. Hal ini telah melahirkan dua wujud yang sama-sama cenderung destruktif. Pertama, melahirkan wujud sains dan teknologi yang angkuh, dan kedua sebagai implikasinya, melahirkan wujud ekologi yang kacau, karena sains dan teknologi dikembangkan bukan untuk menjaga keseimbangan alam, tapi sebaliknya.
Secara historis dan filosofis kedua wujud tersebur berakar pada tipikal pandangan rasionalisme dan humanisme barat yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya. Rene Descartes sebagai peletak dasar pemikiran filosofis ini pada dasarnya memperkokoh kembali logika Aristotelian. Filsafatnya (paradigma Cartesian) berdiri di atas adagium cogito ergosum (I Think, therefore Iam).9
Menurut Ignas Kleden pandangan filsafat ini melahirkan dua akibat mendasar. Pertama, unsur cogito menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Kedua, unsur ego menjadi sangat dominan. Seluruh usaha berpikir manusia bukan untuk membuktian the other being, ada yang lain,  tetapi yang paling utama untuk membuktikan ada sang ego.10
Berpikir selalu dihubungkan dengan kepentingan ego dan kepentingan hal-hal lain ditentukan oleh ego tersebut. Para filosofis modern menuduh Descartes telah membangun egologi, yaitu filsafat yang bertolak dari ego dan berakhir pada ego. Jika perspektif logika aristetolian dan Descartes ini dihubungkan dengan persoalan ekologi, maka alam perlu diramalkan dan dikuasai, karena memang kedudukan alam yang res exstensa ada di luar keberadaan manusia, tergantung dan ditentukan oleh res cogitans yaitu manusia yang berpikir.
Jadi persoalan menjadi demikain mendasar karena itu perspektif ekonomis, politis dan teknologis saja tidak cukup untuk menanggulangi krisis ekologi. Maka persoalannya adalah bagamana menbangun landasan berpikir baru yang dapat memberikan penjelasan paradigmatis tentang kedudukan dan hubungan manusia dan alam yang harmonis berkesinambungan. Hal ini dapat diperoleh dari (jalan) agama sebagai sumber ajaran yang perennealistis.
Islam adalah agama yang memiliki misi universal; memberi rahmat untuk semesta alam (rahmatan li al alamin) (Q.S : 21;107), telah memberikan pandangan sistematis dan komprehensif tentang korelasi Tuhan, manusia dan alam. Boleh dikata tema pokok al-Qur’an (major themes of the Qur’an) adalah disekitar tiga persoalandengan segala dialetika antara ketiganya.11 Dengan demikian Islam memiliki kerangka dasar etika ekologi yang relevan. Persoalannya terletak seberapa jauh kreatifitas intlektual umat islam    mengelaborasi persoalan ini secara mendalam dan serius dalam suatu kajian etik yang universal. Dan yang lebih penting lagi adalah mengagendakannya dalam persoalan operasional sehingga pesan Islam tidak berhenti di langit suci.
Secara paradigmatis hubungan Tuhan, manusia dan alam terletak dalam doktrin Islam tentang tauhid. Tauhid dalam Islam seperti dikatakan oleh Ismail Raji al Faruqi dalam Tawhid: Its Implication for Thought and Life merupakan pandangan dunia yang memberikan penjelasan holistis seluruh realitas.12
Dalam pandangan dunia tauhid terdapat tiga prinsip penting tentang realitas. Pertama, dualitas yang menjelaskan bahwa realitas terdiri hanya dari dua jenis; kholiq dan makhluk. Allah sebagai pencipta,  penguasa dan pemelihara alam semesta seisinya. Dengan kedudukan ini makhluk manusia tidak mungkin menjadi pencipta yang menguasai seluruh realitas secara absolut. Ia harus tunduk pada apa yang menjadi ketentuan Al-Khaliq.
Kedua ideasionalitas. Meskipun dalam prinsip pertama terdapat pemisahan yang tegas dan jelas, tapi hanya merupakan pemisahan yang semata-mata bersifat ontologia. Diantara keduanya terdapat hubungan ideasinal yang memungkinkan manusia dapat memahami-Nya bukan dalam pengertian materi, tapi hasil ciptaan Tuhan yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang aksiomatik berupa hukum alam (sunnatullah).
Ketiga, teleologi. Pemahaman manusia dilakukan dalam kerangka relasi-relasi ideasional bukan bersifat positifistis atau materialistis. Pandangan yang disebut terkhir ini kelas-jelas bertentangan dengan prinsip tauhid yang memandang bahwa realitas bersifat teleologis, artinya mempunyai tujuan melayani penciptanya, dan melakukan hal itu berdasarkan rancangan. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa seluruh realitas itu tidak diciptakan dengan sia-sia (Q.S; 3 : 191),  akan tetapi mempunyai tujuan universal tertentu (Q.S; 32 : 7).
Denga berdasar pada pandangan dunia tauhid di atas dapat dijelaskan lebih rinci bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya dalam lingkungan alam semesta, dan bagaimana semestinya alam diperlakukan. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di atas bumi (khalifah) (Q.S; 2 : 30) dan juga sebagai hamba Allah (abdullah).13
Sebagai khalifah manusia mempunyai kedudukan yang teramat istimewa dibanding mahluk-mahluk lainnya. Keistimewaan ini bisa dilihat dari potensi yang dibrikan dan kedudukannya di alam semesta. Dijadikannya manusia oleh Allah sebagai khalifah tentunya dengan konsekuensi pemberian potensi yang inheren dalam penciptaannya.
Potensi itu berupa kemampuan manusia mengenal dan memahami lingkungan alam sekitarnya sehingga dapat menguasai dan mengembangkan sains dan teknologi. Agar sains itu dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan-ketentuan etik yang ada, Allah memberikan kemampuan tidak kalah penting yang berupa kalimat (Q.S; 2: 35-39) sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Dalam kitab suci al-Qur’an kalimat tersebut merupakan ajaran-ajaranyang diberikan oleh Allah kepada manusiasehingga semakin lengkaplah kemampuan yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Dalam bahasa kontemporer, orientasi ilmiah manusia (kemampuan mengenal dan memahami sesuatu) dilengkapi dan harus dibimbing oleh nilai ruhaniah, yaitu nilai yang memancar dari rasa makna paling mendalam dan sejati dari hidup manusia, berasaskan kesadaran sebagai mahluk yang berasal dari Tuhan dan yang pasti akan kembali kepada-Nya.14 Kedudukan manusia sebagai khalifah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, telah disempurnakan dengan kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika pada kedudukan yang pertama manusia dituntut aktif untuk memelihara dan memakmurkan alam dalam bentuk pem,budidayaan yang konstruktif bagi kehidupan  semesta, maka pada kedudukan yang kedua manusia dituntut pasrah (hanief) kepada Allah. Ia harus mengikuti seluruh perintah dan menjahui apa-apa yang dilarang-Nya.
Makna kedudukan manusia yang kedua terhadap kedudukan pertama akan menuntut manusia melakukan transendensi dalam merealisasikan fungsi kekhalifahannya. Tanpa ditopang dengan kedudukannya sebagai abdullah, kekhalifahan manusia akan akan berakibat pada sikap antroposentrisme mutlak, yang dikritik sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap krisi ekologi sekarang ini. Kedudukan ini akan memberikan kesadaran etis pada diri manusia bahwa kekhalifahan yang diterimanya merupakan amanat dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan kelak dikemudian hari pada hari pengadilan (yaum al-Hisab).
Semua kedudukan di aats membawa konsekuensi ditundukkannya (taskhir) alam bagi manusia seperti yang termuat dalam ayat “apakah kamu tidak melihat bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi (Q.S 22 : 65). Konsep taskhir dalam al-Qur’an tidak dapat diartikan penaklukan alam sebagaimana diklaim oleh sejumlah kaum muslimin modern yang haus kekuasaan seperti yang dijanjikan sains modern kepada mereka. Dengan ayat itu dimaksudkan bahwa dominasi atas segala apa yang ada di bumi diperbolehkan bagi manusia sejauh tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Konsep Taskhir pada dasarnya merupakan peneguhan (reinforcement) Allah terhadap kedudukan manusia sebgai khalifah. Dengan demikian, konsep taskhir ttidak dapat dipisahkan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan abdullah. Dalam pengertian yang lain, ditundukkanny alam ini agar manusia terhindar dari segala bentuk mitologisaasi alam yang justeru akan memperlemah kemampuan manusia untuk membudidayakan sumber daya alam yang ada. Akibat lebih jauh dari mitologisasi ini adalah alam akan dijadikan sesembahan.
Tugas manusia tidak hanya mengeruk kekayaan alam seperti yang dilakukan Barat yang kapitalis, tetapi juga memelihara keharmonisan dan keseimbangannya. Keseimbangan kosmologis akan tetap terpelihara jika manusia dapat berlaku adil dan amanah terhadap alam. Dalam kata adil tersirat di dalamnya pengertian keseimbangan (mizan). Dalam pengertian yang lebih operasional, sikap adil terefleksikan pada tetap memperhatikan keseimbangan kosmologis ketika manusia melakukan eksplorasi dan eksploiatasi terhadap alam. Konkritnya, ekplorasi dan eksploitasi harus dibarengi dengan upaya konversi sehingga keseimbangan alam tetap terjaga terus-menerus. Demikianlah beberapa pandangan dasar Islam seputar kedudukan manusia dan alam sebagai poros utama persoalan ekologis. 
Persoalannya sekarang adalah vagaimana mengagendakannya sebagai suatu yang lebih operasional dan struktural. Sebuah persoalan yang tidak sederhana karena banyak berhubungan dengan infrastruktur yang ada baik ekonomi, politik dan teknologi. Dalam hal ini, dunia Islam perlu belajar secara arif dan kritis terhadap pembangunan infrastruktur yang dikembangkan oleh Barat, baik yang kapitalis maupun yang sosialis-komunis yang dianggap banyak menimbulkan kerusakan ekologis.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di tarik sebuah simpulan sebagai berikut;
1.      Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kependudukan, maka hubungan manusia dengan alam harus berangkat dengan pandangan dunia tauhid, yaitu bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya dalam lingkungan alam semesta, dan bagaimana semestinya alam diperlakukan. Tugas manusia tidak hanya mengeruk kekayaan alam seperti yang dilakukan Barat yang kapitalis, tetapi juga memelihara keharmonisan dan keseimbangannya. Keseimbangan kosmologis akan tetap terpelihara jika manusia dapat berlaku adil dan amanah terhadap alam. Dalam bahasa kontemporer, orientasi ilmiah manusia  dilengkapi dan harus dibimbing oleh nilai ruhaniah, yaitu nilai yang memancar dari rasa makna paling mendalam dan sejati dari hidup manusia, berasaskan kesadaran sebagai mahluk yang berasal dari Tuhan dan yang pasti akan kembali kepada-Nya. Kedudukan manusia sebagai khalifah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, telah disempurnakan dengan kedudukannya sebagai hamba Allah.
2.      Tanpa berbekal prinsip-prinsip tersebut dengan sendiri  akan timbul krisis kehidupan masyarakat modern, baik pada ekosistem sosial maupun material. Lebih jauh netralitas-etik dalam epistimologi menghajatkan ketidakhadiran Tuhan dalam alam, Tuhan dianggap telah pensiun. Aksiologi sains modern menjadi telanjang dari nilai-nilai etis ketuhanan (ilahiyah).
3.      Oleh karena itu dalam melangsungkan pembangunan peran manusia adalah sebagai komponen penting yang tidak dapat di tawar-tawar lagi dalam menopang dan mewujudkan keberhasilan pembangunan. Pembangunan bukan sekadar perkara pemasokan modal dan sains-teknologi saja, tetapi yang tidak kalah penting dan mendasar adalah faktor manusia. Untuk itu dalam membangun kehidupan modern ini dibutuhkan juga manusia-manusia yang mempunyai wawasan modern.

Penutup
Belajar dari tulisan di atas –dalam kesempatan ini-- penulis mencoba memberikan masukan dan sekaligus merekomendasikan kepada pihak-pihak yang berwenang, bahwa dalam melaksanakan pembangunan hendaklah selalu menitik beratkan pada aspek lingkunmgan dan kependudukan, karena tanpa prinsip ini segala yang diagendakan tidak akan berjalan dengan baik dan lancar.
Dalam mewujudkan target tersebut aspek yang penting dan perlu mendapatperhatian yang serius adalah aspek manusia, yang notabene sebagai pelaku pembangunan. Hal ini di karenakan manusia tidak bisa menjadi wasit atas prilakunya sendiri. Artinya dia tidak akan mungkin dapat menjadi pusat penentu dari seluruh nilai-nilai etik, melainkan harus tetap terikt moralitas yang tinggi dari Tuhannya, dan inilah yang mendasari konsep Islam, sehingga memanfaatkan alam semesta dengan etika-transendental-religius menjadi tujuan utama yang harus dicapai manusia.
Etika yang demikian akan memberikan harapan bahwa jika Islam dikaji dan digali dengan sungguh-sungguh, maka akar teosofinya akan memberikan konsep alternatif yang memiliki tradisi etis di dalam sains, baik ontologi, epistemologi maupun aksiologinya sehingga mampu menjadi antisipasi konsptual alternatif bagi krisis ekologi dewasa ini.
Mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kami ketengahkan firman Allah  yang dapat kia jadikan sebagai penggeliat jiwa dalam melaksanakan kebijakan pembangunan dan landasan dalam setiap usaha menyususn langkah-langkah teoritis dan praktis yang berkenaan dengan pemanfaatan alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka ke jalan yang lurus. Katakanla (wahai Muhammad) “adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kabanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada dasar pandangan hidup yang lurus (din al-Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tak dapat ditolak; pada hari itu mereka terpisah-pisah.” (QS. 30 41-43).
 Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita kejalan yang di ridlai-Nya.

 

  
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Ismail Raji, 1988, Tauhid,  terj. Tim terjemah Pustaka Salman, Bandung. Pustaka Salman.

Abraham, M. Francis, 1991, Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan, terj. M. Rusli Karim, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Arief Budiman, 1995,Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Anton Bakker, 1995, Kosmologis dan Ekologi: Filsafat Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia, Yogyakarta, Kanisius.

Calvin Goldsheider, 1971, Population, Modenization and Social Structure,Little Borown and Company Boston.

Fazlur Rahman, 1983, Major Themes of the Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka.

Ignas Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3ES.

James Robertson, 1983, The Sane Alternative : A Choce of Future, Rever Basin Publishing Co.

J.W. Schoorl, 1991, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terj. Soekadijo, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

J.E. Goldthorpe,1992, Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjanan dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Kuhn, Thomas S, 1989, The Structur of Scientific Revolution, terj. Tjun Suryaman, Bandung, Remaja Karya.

Myron Weiner (ed.), 1994, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, terj. Tim Gadjah Mada University, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Nur Cholis Madjid, 1993, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta.

Nur Cholis Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan Keindonediaan, Bandung, Mizan.

Norman Long, 1992, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, terj. Tim Bina Aksara, Jakarta, Bina Aksara.

Quraish Shihab, 1992, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan.

Sugihen, Bahrein T., 1997, Sosiologi Pedesaan: Suatu Pengantar, Jakarta, Raya Grafindo Persada.

Syamsul Arifin dkk, 1996, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta, SIPRESS.

Taha, Mahmoud Mohamed,  1996, Syari’ah Demokratik, terj. Nur Rachman, Surabaya, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Republik Indonesia, 1978, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia.


1 Lih. James Robertson, The Sane Alternative : A Choce of Future, Rever Basin Publishing Co. 1983

2 Lih. Mahmoud Mohamed Taha,  Syari’ah Demokratik, terj. Nur Rachman, eLSAD, Surabaya, 1996. h, 111. 
3 Pertumbuhan penduduk rata-rata di negara berkembang umumnya masih diatas angka 2persen pertahun sehingga jumlah penduduk di planet bumi ini sudah mencapai lebih enam milyar menjelang akhir abad 20, lih. J.W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terj. Soekadijo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, h, 256.juga Bahrein T. Sugihen, Sosiologi Pedesaan: Suatu Pengantar, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 1997, h, 87.
4 Lih. Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, SIPRESS, Yogyakarta, 1996, h, 179.

5 Lih. Calvin Goldscheider, Little Borown and Company Boston 1971.

6 Lih. M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan,
terj. M. Rusli Karim, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, h, 197.
7 Lih. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, h, 34. Lih, juga Myron Weiner (ed.), terj. Tim Gadjah Mada University, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Gadjah Mada University Press, 1994, h, 102, dan juga J.E. Goldthorpe,Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjanan dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, h, 382.
8 Ibid, h, 35
9 Lih. Syamsul Arifin dkk, Loc.cit, h, 181
10 Lih. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987, h, 183.

11 Lih. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1983, h, 73.
12 Lih. Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, Pustaka Salman, Bandung, 1988, h, 87.
13 Lih. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992, h, 291.
14 Lih. Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1992, h, 91, juga Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, bandung, 1987, h, 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar