Jumat, 12 September 2014

Gender Dalam Islam

AGAMA DAN GENDER :
Telaah Perempuan Dalam Islam Dan Struktur Sosial

H. Muhammad Yazid


Gender Dalam Struktur Sosial

Wacana gender pada perkembangannya pasca pemilu 1999 semakin menyeruak ke permukaan. Hal ini dipicu oleh sebuah kenyataan tampilnya Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden PDI-P, partai yang memenangi pemilu. Maka, perkembangan sosial politik saat itu sangat sarat dengan wacana gender.
Sejalan dengan isu tersebut, dalam tulisan ini akan dicoba mengkaji eksistensi gender dalam kehidupan sosio-kultur dalam perpektif Islam. Pemilihan perspektif ini dilakukan karena bagaimanapun Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat Indonesia, maka dengan sendirinya harus dapat menyikapi perkembangan dan atau pererubahan sosial yang kini memerluakn solusi yang tepat dan jitu.
Sebenarnya ide tulisan ini diilhami oleh Ashgar Ali Engineer yang mengajukan gagasan yang tidak saja menarik, tapi juga mendasar --kalau tidak dikatakan radikal-- melalui pembacaaan yang kritis terhadap muatan-muatan ajaran Islam dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan. Hal ini dipicu oleh adanya ketimpangan dalam wacana teologi Islam yang tidak saja melahirkan perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan struktural, tetapi secara simultan mengakibatkan terjadinya pengerdilan nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran Islam.
Pemikiran ini sangat relevan dan menarik apabila dikaitkan dengan perspektif kekinian pasca pemilu yang telah begitu jauh menjadi discourse utama dalam wacana intelektual Indonesia. Dengan segala implikasi epitemologisnya, tulisan ini mencoba memberikan peluang adanya perkembangan kritik terhadap teks-teks agama yang telah diputarbalikkan sedemikian rupa dan telah memuculkan struktur sosial yang eksploitatif dan diskriminatif yang dengan sendirinya tidak sejalan dengan pesan agama Islam yang paling fundamental, yaitu agam yang menjunjung tinggi konsep egalitarian disegala aspek kehidupan.
Wacana teologi yang telah menjadi kajian besar terutama di lingkungan masyarakat Islam, telah mengakibakan adanya disorientasi teologis karena menguntungkan satu pihak dan merugiakan serta mengeksploitasi pihak-pihak yang lain.
Pemikiran di atas ingin mencoba merombak tatanan pengetahuan yang dalam wacana perempuan menimbulakn teologi patriarkhi untuk selanjutnya diformalisasiakan menjadi teologi yang bersifat emansipatoris yang dapat memberikan langkah eksistensi terhadap kaum perempuan untuk lebih leluasa.
Ada dua sasaran kritik teologi gender. Pertama diarahkan pada bias sosio-antopologis sebagai akibat kuatnya budaya patriarkhi, kedua pada anggapan yang mendasari produk pemikiran teologis tentang posisi dan peran wanita, sebelum lebih jauh masuk pada kajian teks-teks Kitab sici. Terhadap kajian wacana yasng disebut terakhir ini, teologi gender menganggapnya  sebagai wacana yang terbuka, bukan sebagai wahyu dalam bentuk yang sudah jadi, lengkap dengan segala asesorisnya, sehingga tidak terbuka pintu bagi manusia untuk merekonstruksi.
Dengan pendekatan hermeneutika, teologi gender kekinian mengembangkan kajian teks yang bersifat historis dan kritis. Dengan langkah-langkah ini teologi gender tidak berhenti pada kritik saja, tapi lebih jauh ingin menwarkan pandangan dan solusi yang juga bertolak pada agama tentang posisi dan peran perempuan yang lebih berimbang dan humanis, yang selanjutnya pada tataran praktis-operasional pandangan tersebut akan mengimplikasikan terjadinya perubahan sosial (struktural).
Dalam kritik teologi gender, kuatnya budaya patriarkhi mengakibatkan lahirnya pengaruh yang besar terhadap terbentuknya wacana sosial yang relevan dengan kenyataan budaya tersebut, sehingga tidak megherankan bila eksistensi perempuan kurang mendapat perhatian dalam diskursus teologis. Kalaupun diangkat menjadi tema-tema pembicaraan teologis, wanita masih seringkali dipersepsi sebagai yang subordinat, karena semata-mata ingin mempertahankan superioritas kaum laki-laki. Kenyataan ini, misalnya terlihat ketika penafsiran "Zawjaha" dalam Al-Qur’an yang diberi arti  sebagai manusia kedua yang diciptakan dari tulang rusuk Adam.1
Dalam sejarah penafsiran semacam ini tidak saja berakibat pada mandegnya pemikiran  teologis yang semestinya terus dikembangkan untuk mencari rumusan yang konstruktif tentang posisi dan peran perempuan dimasa depan. Lebih penting lagi pemikiran ini juga telah mengakibatkan adanya berbagai penyimpangan yang secara fundamental bertentangan dengan misi agama Islam sebagaimana agama "Rahmatan li al-Ãlamîn" yang membebaskan dan mengutamakan kesamaan eksistensi personal antara sesama mahluk.
            Dari kritik terhadap bias sosiso-antropologis tersebut, teologi gender juga mengajukan kritik terhadap kesalahan dalam memahami teks-teks kitab suci yang disebabkan oleh asumsi dasar yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara teologis.
            Menurut Riffat Hasan ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi pemikiran teologi dilingkungan umat Islam Pertama;  Bila mahluk yang bernama hawa diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, maka dengan sendirinya perempuan diyakini sebagai mahluk yang secara otomatis adalah sekunder. Kedua;  bahwa perempuan --bukan laki-laki-- yang merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam dari surga atau yang kita kenal sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, karena itu semua anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan --bahkan-- hina. Ketiga;bahwa perempuan diciptakan pada dasarnya adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya hanyalah pelengkap.2
Asumsi diatas telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman para ulama terhadap teks kitab suci tentang pencipataan manusia yang secara serta merta menempatkan laki-laki diatas perempuan , pada hal sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan kitab suci tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas  penciptaan antara laki-laki dan perempuan, walaupun al-Qur’an menggunakan istilah laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminim, tidak dimaksudkan untuk memperioritaskan yang satu dan merendahkan yang lain, karena pada dasarnya hakekat penciptaan mahluk secara eksistensial adalah sama.
Tuhan menyebut seluruh umat manusia dimuka bumi sebagai khalifah. Dengan demikian dalam kehidupan sosial tidak ada perbedaan karena adanya kualitas penciptaan secara biologis.
Demikianlah kita telah melihat kritik teologi gender telah menyentuh persoalan yang demikian luas dan mendasar. Dikatakan demikain karena teologi gender tidak saja terbatas pada analisis struktural tapi telah memasuki persoalan yang mendasar, yang berkaitan dengan pandangan masyarakat dunia tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang dikembangkan berdasarkan pada pemahaman teks-teks kitab suci.
Apa yang ditawarkan dalam kajian gender dengan mengambil acuan pada wacana teologi akan memberikan peluang tumbuh kembangnya diskursus teologi yang bersifat emansipatoris, tidak saja untuk kaum hawa, tapi untuk semua umat manusia.
Untuk itu tulisan ini ingin membahas tentang perempuan dalam perspektif historis dan teologis dengan pendekatan tafsir hermeneutik dan multi perannya.

Gender : Sebuah Telaah Historis

            Berbicara masalah perempuan tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang sejarah. Perjalanan perempuan dalam lintas sejarah sebelum Al-Qur’an diturunkan membuktiakn bahwa telah sekian banyak peradaban-peradaban besar memberikan pelajaran dan pandangannya, seperti Yunani, Romawi, India dan Cina serta agama-agama yang telah ada, misalkan, Yahudi dan Nasran, Budha, Zoroaster dan sebagainya.3
Pandangan terhadap perempuan dalam peradaban masyarakat sebelum islam sedikit banyak mempengaruhi pemahaman sementara ulama terhadap teks-teks Islam, bahkan sebagian apa yang dianggap ajaran agama ternyata bersumber pada budaya dan pandangan diatas, tidak bersumber pada ayat-ayat Al-Qur’an. Ini dikuatkan lagi dengan banyaknya bentuk-bentuk ayat dalam teks-teks agama islam yang disalahpahami tujuannya oleh sementara pihak.
Realita diatas juga mengakibatkan timbulnya siakp kegusaran kaum laki-laki manakala derajat kesamaannya dipersamakan dengan kaum perempuan.4 Secara umum perempuan selalu dimunculakn sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah sepuluh abad lamanya pandangan ini hampir mewarnai seluruh budaya manusia dan kemudian mendapat legitimasi dari ajaran agama-agama besar seperti, Yahudi, Kristen dan Islam.
Ketiga agama tersebut percaya bahwa Adam adalah manusia yang pertama, sementara Hawa diciptakan dari tulang rusknya,5 meski tidak satu ayat Al-Qur’an pun memuat ungkapan Hawa dalam peristiwa penciptaan. Al-Qur’an hanya menunjukkan bhwa Adam dan pasangannya diciptakan dari esensi dzat yang sama.6
Sumber yang dijadikan rujukan lahirnya pandangan tersebut adalah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, ia akan patah bila kamu besikap keras untuk meluruskannya.7 Namun beberapa kalangan pendapat bahwa apa yang disebut dalam Al-Qur’an lebih dapat dipertanggung jawabkankeontektikannya daripada periwayatan hadits diatas tersebut. Disamping itu Islampun tidak pernbah menyatakan bahwa Hawa adalah pihak yang menyebabkan kejatuhan Adam kedunia, namun toh demikian dalam karya-karya klasik Islam maupun sebagian yang kontemporer, sosok perempuan digambarkan sebagai sumber kejahatan, birahi dan dekadensi moral yang akan menjerumuskan laki-laki ke dalam neraka.8 Untuk masalah ini lebih lanjut akan dibahas dalam paparan yang kemudian.
Secara historis adanya sifat kegusaran ini ada sejak Islam lahir sebagai gerakan reformasi budaya. Penolakan terhadap Islam oleh masyarakat Arab adalah bukti yang sangat jelas merupakan merupakan penolakan atas moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas kaum laki. Seruan akan keesaan Allah meruntuh lantakka kewibawaan laki-laki sebagai kepala suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah atas anak-anaknya, saudara laki-laki atas saudara perempuan dan suami atas istrinya, dan semua sahabat dapat segera memberikan respon emansipatif terhadap reformasi sosial ini, bahkan setidaknya Umar bin Khaththab pernah mengalaminya dan mengatakn bahwa memberikan terlalu banyak kepada perempuan sama saja dengan membiarkan mereka dikuasai oleh kaum perempuan, bahkan sepeninggal Nabi kecenderungan pada superioritas kaum laki yang belum sepenuhnya terkikis oleh reformasi budaya Islam kembali menguat. Hal ini tampak pada interpretasi para sahabat terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dari sekian banyak sahabat yang dipandang mempunayi kapasitas penafsiran yang tidak diragukan lagi dikalangan sahabat yang lainnya seperti, Ibnu Abbas, tertap saja menempatkan laki-laki sebagia penguasa, pemimpin dan pengontrol perempuan.9 
Contoh dari sekian banyak pembalikan fakta dari konteks suatu ayat adalah ayat (34) surat al-Nisa’ yang dari sudut asbabun nuzulnya menyangkut dibebankannya taklif pada laki-laki serangkaian dengan peristiwa bahwa seorang sahabat Rasulullah mengadu, ia telah dianiaya oleh suaminya. Sambil menaruh rasa gusar dan iba Rasulullah memrintahkan sahabat untuk memanggil suaminya untuk menghadap beliau, lalu turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga kepada perempuan.10 Ayat ini memberikan peringatan agar laki-laki dapat memperlakukan perempuan dengan baik dan memberikan nafkah guna mendukung proses generasi selanjutnya dalam keluarga.
Ironisnya pada perkembangannya, justru ayat ini digunakan untuk mengancam kaum perempaun supaya selalu mentaati laki-laki sampai melampaui otoritas perempuan untuk beribadah kepada Allah dengan dasar dan dalil pada hadits Rasulullah diatas  yang dengan sendirinya menuntut untuk dikritisi kebenaran sanad (proses periwayatan)serta matan(susunan isi hadits). Seorang isteri harus mendapat izin untuk melakukan ibadah yang sunnah hukumnya. Dalam kondisi demikain manakala suami tidak mengizinkannya, maka isteri harus membatalkan dan atau meninggalkannya, sehingga isteri tidak mempunayi pilihan kecuali mengabulkan kehendak tersebut. Benarkah agam mengajarkan syari’ah yang demikian?.
Sepeninggal Nabi, banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat Islam. Perubahan ini berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem monarkhi yang absolut.11 Sistem patriarkhi feodalistik dan hirakhis muncul untuk mengembaliakn status quo  kaum lelaki yang dilindas oleh reformasi Islam, sehingga realita ini semakin menjauhkan masyarakat Islam dari modernitas yang pernah dicaspai oleh Rasulullah dan para sahabatnya.12
Dalam kondisi demikian, sejauh menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan, kaum teolog diharapkan pada suatu keharusan untuk melakukan interpretasi teks-teks Al-Qur’an dalam upaya kontekstualisasi Islam terhadap budaya setempat. Dalam proses kontekstualisasi ini inkulturasi tidak dapat terelakkan. Meski demikian kendali politis tidak selalu memberikan peluang bagi para teolog progresif untuk menyeruakan keadilan yang hakiki. Ini terbukti dari beberapa pemikir yang harus menghadapi kematian dan penjara bila mereka tidak menyediakan alat jastifikasi bagi kepentingan raja; kaum laki-laki.13
Secara praktis dominasi laki-laki atas perempuan dalam masyarakat patriarhi sepadan dengan dominasi raja atas rakyatnya. Keduanya membutuhkan ketundukan yang menyeluruh.14 Eksklusivitas dibidang teologi adalah konsekuensi logis dari dominasi diatas, karena semua teolog adalah laki-laki, maka yang terakomodasi dalam kitab-kitab tafsir dan figh adalah kepentingan penguasa; laki-laki, dan tidak terdengarkannya suara perempuan dalam penafsiran Al-Qur’an dan formulasi fiqh (hukum Islam) sama sekali tidak menjadi perhatian para intelektual muslim, bahkan seringkali dianggapsebagai ketiadaan suara perempuan dalam aayt-aayt Al-Qur’an.15
Gambaran umum perempaun dalam wacana klasik terdokumentasi secara sistematis dalam kitab-kitab fiqh. Sementara antara Al-qur’an dan fiqh harus dibedakan.. yang pertama adalah teks yang dihasilakan oleh peristiwa pembentukan pertama, sedangkan yang kedua adalah kaedah hukum yang diambila dari Al-Quran.
Secara umum perempuan digeneralisasikan sebagai mahluk yang melebur kedalam citra  laki-laki, separo laki-laki. Kitab-kitab Fiqh telah mengaburkan posisi sentral "keibuan" yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi "keistrian" yang submisif dan tergantung. Sesungguhnya Al-Qur’an menuntut penghormatan timbal balik antara suami istri. Yang lebih parah lagi banyak kondisi yang ditopang oleh munculnya hadits-hadits palsu, seperti: tidak akan masuk surga sorang istri kecuali atas ridla suaminya.16 Dan juga contoh kasus di Lombok ada seorang ulama yang mengatakn bahwa perempuan yang rela dimadu oleh tuan guru (kiyai) maka ia akan mendapatkan "payung Fatimah" yang memungkinkan ia akan masuk surga bersam tuan guru.17

Menggagas Gender ; Sebuah Rekonstruksi

Menempatkan posisi perempuan dalam dialektika agama dan budaya adalah menelaah suatu proses interpretasi yang terus berlangsung. Posisi ini memiliki dua sisi mata uang. Satu sisi inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan dengan berbagai literatur yang kontekstual serta mengakomodisikan permasalahan lokal yang beragam untuk diberi sentuahn universalitas ajaran agama  adalah sebuah kajian yang tak terelakkan. Disisi yang lain inkulturasi telah mereduksi peesan-pesan universal agama dalam semesta intelektual suatu masyarakat lokal. Sakralisasi produk keagamaan yang interpretatif untuk diterapkan dalam semua kurun waktu justeru akan mengaburkan semangat emansipatif suatu agama. Sakralisasi tersebut menurut Muhammad Arkoun bagaikan lapisan-lapisan geologis yang menyembunyikan inti bumi.18 Untuk mengetahui inti ajaran agama yang masih segar dan kaya nuansa pembebasan, seseorang harus mampu membongkar literatur terdahulu bahkan sampai yang modern sekaligus.
Salah seorang mufassir yang mencoba mengkaji terhadap masalah agama yang berdimensi sosial termasuk dalam kaitan relasi gender adalah Musthafa al-Maraghi yang mengatakan bahwa pengaturannya harus diselaraskan dengan perkembangan suatu masyarakat.19 begitu pula secara khusus Al-Haitami mengemukakan bahwa asumsi tentang superioritas laki-laki terhadap perempuan hanya merupakan generelisasi belaka, kenyataan membuktikan bahwa banyak pula perempuan mempunayai kemampuan yang sebanding dengan laki-laki secara intelektual, profesional dan keterampilan.20
Paparan diatas senada dengan gagasan transformatif yang ditawarkan oleh Abdullah Ahmed al-Amin, bahwa transformasi terhadap ketentuan-ketentuan Islam adalah sebuah keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi kehidupan Islami kontemporer.21 Ditengah meningkatkan kesadaran "harga kemanusiaan" perempuan dan pihak-pihak yang tertindas, maka formulasi hukum klasik tradisional dan parsial sudah harus ditinggalkan. Dengan cara itu Islam akan mampu tampil menjadi ideologi yang tetap dinamis dan membawa kesejahteraan semesta.
Rekonstruksi gender bukan hanya dilatarbelakangi oleh sikap superioritas laki-laki selam ini, namun jelmaan dari kehendak otoritas perempuan untuk menjadi sosok yang sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini ditandai dengan adanya gerakan kemandirian oleh kelompok perempaun dalam semua segmentasi kehidupan. Pembongkaran radikal dilakukan pula pada norma-norma keluarga antara suami istri, misalkan bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak prerogratif seorang perempuan, dan perempuan berhak menentuakn sikap untuk menolaknya. 22

Gender Dalam Teologi Islam

            Sesuai dengan judul diatas, diawali dengan meluasnya tuntutan gerakan feminis belakangan ini, maka konsekuensi logis sebagai masyarakat yang beragama kita harus memberikan respons teologis secara kritis, sistematis dan mendalam, yakni bagaimana kita mencoba menerjemahkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks seperti ini. Dengan melibatkan pembicaraan dalam kacamata agama, maka dengan sendirinya  --yang pertama-tama-- adalah tata nilai ajaran agama. Ada lapis tata nilai yang bersifat Fundamental (Fundamental Values) dan ada pula tata niali yang bersifat Instrumental (Instrumental Values).
Dalam ajaran Islam tata nilai tersebut ada yang disebut dengan istilah Muhkamat yang mempunyai kapasitas universal misalkan pandangan tentang egalitarian dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, karena masing-masing hanya akan ditentukan oleh amal perbuatan dan ketaqwaannya23 dan masing-masing laki-laki dan perempuan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat sendiri.24 Dalam tataran yang fundamental ini hampir tidak ada persoalan.
Disamping sebutan Muhkamat adalah ajaran yang bersifat Mutasyabihat atau yang biasa disebut pada level Instrumental, yang bersifat aplikatif dan kontekstual dan muali muncul perbedaan-perbedaan visi karena perbedaan latar belakang budaya sosial dan sebagainya. Pada tataran yang kedua inilah semua aturan atau yang biasa disebut dengan fiqh durumuskan, misalkan tentang cara berpakian, seberapa yang harus ditutup atau sampai batas-batas mana bagian tubuh yang boleh dibuka. 25 berangkat dari usulan diatas, kita mencoba mengkaitkannya dengan berbatgai persoalan perempaun problematik, krusial dan kontroversial pada era kekinian. Untuk menjawab persoalan diatas secara tidak langsung telah tercaver dalam tulisan pengantar diawal karena itulah pandangan wacana Islam terhadap teologi gender secara global.
Dari ayat diatas, jelas bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dikata adalah sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempaun sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin tersebut dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus, oleh karena itu hukum-hukum syari’ah pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka, yang satu (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum serta menuntut dan menyaksikan.26 Kendati demikian tidak sedikit faktor yang mengaburkan  keistimewaan dan memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.27
Dalam Al-Qur’an secara konkrit ( lafdhiyah) tidak ditemuakn kata yang berarti gender, akan tetapi jika yang dimaksud gender itu adalah istilah yang ditujukan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa ayat didalam Al-Qur’an yang mengungkap jenis laki-laki Al-Qur’an menggunakan istilah "al-Rijal" dalam berbagai bentuk yang terulang sebanyak 57 kali. Begitu pula dengan istilah yang digunakan untuk mengungkap jenis perempuan dengan mengguankan istilah "al-Nisa’" yang disebut pula sebanyak 57 kali.
Begitu pual dalam Al-Qur’anasal usul dan proses kejadian perempuan tidak dijelaskan secara konkrit dan terperinci, bahkan nama Hawa yang dipersepsiakn sebagai perempuan pertama dan sekaligus menajdi istri Adam yang nota benenya mirip dengan cerita yang ada dalam kitab kejadian lama (Al-Kitab) sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur’an, justru keterangan yang terkait dengan ini adalah ditemukan dalam hadits, misalkan:
Ketika Allah mengusir Iblis dari taman Adn lalu didalamnya ditempatkan Adam, karena ia tidak mempunayi teman maka Allah menidurkannya, lalu mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya kemudian menggantikan daging ditempat semual, kemudian menciptakan hawa daripadanya. Ketiak bangun Adam menemuakn seorang perempuan disampingnya, Adam bertanya, siapa anda? Hawa menjawab, "perempuan" Adamkembali bertanya, mengapa engkau diciptakan? Hawa menjawab supaya engkau mendapat kesenangan dari diri saya. Para malikat bertnya, siapakah namanya ? dia menjawab Hawa, mengapa dipanggil Hawa ? Karena diciptakan dari sebuah benda hidupnya.28
Dan juga hadits:
            Jagalah perempuan itu baik-baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk, bagian  tulang rusuk yang paling rapuhadalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya, ia akan patah, jika engkau membiarkannya, maka ia akan terus bengkok, oleh karena itu jagalah perempuan baik-baik.
            Namun untuk hadits tersebut para ulama masih mempersoalkannya, karena dari segi matannya, hadits tersebut bersimpangan dengan nash Al-Qur’an (khususnya surat al-Nisa’: 1).
            Kata "minha" dalam ayat tersebut, jumhur ulama (mufasir)menafsirkannya dengan "dari bagian tubuh Adam", tapi apakah yang dimaksud dengan dari bagian tubuh Adam itu "tulang rusuk". Diantara sekian mufasir yang tidak setuju dengan arti demikian adalah Muhammad Al-Razi (dalam tafsirnya Al-Razi), mengatakan: yang dimaksud dengan "dan daripadanya Allah menciptakan zaujnya", sekiranya Hawa manusia pertama yang diciptakan dari tulang rusuk, maka niscaya manusia diciptakan dari dua nafs, bukan dari satu nafs sebagaimana ayat diatas. Oleh karena itu jika kamu sekalian diciptakan dari nafs yang satu, dan Allah dengan kehendaknya menciptakan Adama dari tanah (turab), maka dengan kehendaknya juga Allah menciptakan Hawa dari tanah, jika demikian adanya, mka apa gunanya mengatkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.29
            Konsep teologis lain yang perlu mendapat perhatikan dalam kerangka ini adalah adanya citra negatif yang diberikan pada perempuan bahwa Hawa sebagai penyebab kejatuhan Adam dari surga dengan rayuannya sehingga ia memakan buah khuldi. Asumsi yang demikain pada gilirannya ditimpahkan kepada kaum Hawa sehingga perempuan dianggap senantiasa berada dibawah otoritas dan dominasi laki-laki. Tapi benarkah Al-Qur’an menjelaskan demikian?.
            Mari kita liaht dalam Al-Qur’an (2); 36 dan (7); 20-24 justeru menunjukkan dlamir tatsniyah (yang berarti dua), yaitu berbentuk "huma" yang dengan sendirinya tidak ditujukan pada Hawa, melainkan keduanya (Adam dan Hawa). Dengan demikain tidak ada satupun ayat Al-Qur’an dan hadits yang mengisyaratkan hawa sebagai penyebab utama terjadinya kasus Adam tersebut, bahkan rasa penyesalannya pun dinyatakn bersasm-sama dan akhirnya Allah mengampuni keduanya.30
            Selain dari kedua contoh diatas, ada satu persoalan yang pada saat ini banyak mendapat anggapan publik bahwa dengan dasar itu mereka beragumentasi dan berdalih bahwa laki-lakilah ayng berhak menjadi pemimpin. Dasar yang dijadikan acuan mereka adalah Al-Qur’an (4);34, yaitu "al-Rijaalu Qawwaamuuna ’ala al-Nisa’ bimaa Fadldlalallahu wa biam Anfaqu" benarkah anggapan yang demikian?.
            Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita cermati ayat rersebutr dari dua sudut pandang, yaitu asbabubnuzul dan proses penafsirannya. Pertama; dari segi asbabun nuzul, maka jelas ayat tersebut diturunkan ketika salah seorang sahabat Nabi menganiaya istrinya, lalu dengan rasa tidak terima atas perlakuan tersebut ia menghadap Rasulullah seraya mnengadukan peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar cerita wanita itu sambil menahan rasa marah Nabi memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk memanggil suami terrsebut, kemudian turunlah ayat diatas sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga dan mengayomi kepada perempuan, maka dengan sendirinya ayat ini memberikan peringatan pada kaum laki-laki agar dapat memberlakukan perempuan dengan baik dan memberi nafkah guan proses generasi dalam keluarga.
            Kemudian dari sisi penafsiran kita sejenak menengok kajian tafsir, dalam ilmu tafsir dikenal istilah ″tafsir al-ayat bi al-ayat″ (metode penfsiran pada sebuah ayat yang telah diberikan penafsiran sendiri oleh ayat yang lain, tanpa membutuhkan penafsiran lebih lanjut dari ahli tafsir). Kalau kita perhatikan secara seksama ayat diatas secara tekstual menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, akan tetapi jangan diberhentikan sampai cukup kalimat disitu, taspi harus dilanjutkan pada kalimat selanjutnya (karena kaliamt selanjutnya adalah sebagai penafsiran), yaitu ″Bima Fadldlalallahu wa bima anfaqu″, bahwa laki-laki menjadi pemimpin perempuan itu karena dua sebab, pertama, (bima Fadldlallahu) karena Allah memberikan kelebihan (anugerah) kepada sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (perempuan). Kedua, (wa bima anfaqu), karena laki-laki mempunayi kewajiban untuk memberikan nafkah kepada perempuan.
            Kata “Fadldlala” dalam ayat tersebut berarti bahwa dari segi fisik laki-laki diciptakan dengan susunan organ tubuh yang lebih kuat daripada perempuan dan atau dari segi biologis perempuan diberikan keterbatasan-keterbatasan seperti mengandung, melahirkan menyusui dan datangnya tamu setiap bulan. Tapi manakala perempuan dapat mengatasi dan membatasi keadan-keadaan yang tidak dapat dihindari tersebut dan juga didukung oleh kemampuan diri yang bagus, tidak menutup kemungkinan ia menjadi pemimpin, toh secara empiris tidak sedikit wanita yang mampu mengeliminir keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan langkah antisipatif pada suatu kondisi, dan banyak pula perempuan yang mempunyai kemampuan intlektual dan atau penghasilannya melebihi laki-laki.
            Dengan demikian ayat tersebut justeru mengakui keberadaan laki-laki dan perempuan, bahwa keduanya adalah makhluk yang mempunyai status yang sama baik dalam kapasitasnya sebagi hamba Allah (mengabdi) maupun sebagai wakil Allah di bumi (khalifah). Antara yang satu dengan yang lain tidak terdapat superioritas baik dari segi asal-usul kejadiannya maupun struktur sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, prinsip murni dalam al-Qur’an adalah kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ditunjukkan oleh adanya tanggung jawab yang sama di hadapan Allah pada hari pembalasan.

Peranan Perempuan dalam Pengembangan SDM
Perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan, karenanya perempuan adalah mitra sejajar laki-laki. Disamping itu kedudukan perempuan dalam rumah tangga perlu ditingkatkan, demikian pula dengan pengakuan terhadap kodrat perempuan yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi.
Peningkatan kemampuan perempuan dalam pembangunan diarahkan pada penguasaan iptek, proses pengambilan keputusan dalam menghadapi perubahan dalam masyarakat maupun dunia internasional. Oleh karena itu perlu adanya proses menuju pengembangan dan peningkatan ketahanan mental dan spiritual agar dapat memanfaatkan kesempatan berperan aktif dalam segala bidang kehidupan bangsa dan segenap kegiatan pembangunan.
Secara prinsipil peranan perempuan dapat dikategorikan dalam tiga bagian;
1.      Peran sebagai istri
2.      Peran sebagai Ibu
3.      Peranan sebagai anggota masyarakat
Peranan perempuan dalam masyarakat diartikan sebagai kedudukan  mereka menurut hukum  dalam masyrakat serta dalam  hubungannya dengan  laki-laki. Yang dimaksud dengan peranan perempuan adalah fungsi yang diberikan  kepada atau yang diwujudkan  oleh perempuan, atau fungsi yang diharapkan oleh  masyarakat.31 Berkenan dengan itu, kiranya perlu kita memperhatikan dua hal  pokok dalam mengidenfikasi berbagai kedudukan dan peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Pertama, adalah bagaimana keadaan objektif  kedudukan dan peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kedua, bagaimana  keadaan normatifnya menurut hukum.
Tentu tidak mungkin untuk memberikan gambaran lengkap dengan  keadaan objektif perempuan dalam tulisan singkat ini. Oleh karena itu, di bawah ini  akan diidentifikasi hanya beberapa kedudukan dan peranan saja yang kiranya  amat perlu dan penting diperhatikan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
        Dalam keluarga, perempuan pada umumnya masih merupakan penanggung  jawab dan pelaku utama bagi terlaksananya tugas-tugas rumah tangga, fungsi reproduksi dan pembinaan sumber daya manusia, serta berbagai tugas keluarga  lainnya. Tugas-tugas rumah tangga meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemeliharaan atau penyediaan alat-alat rumah tangga, sandang dan  pangan, urusan dalam rumah dan pekarangan. Fungsi reproduksi dan pembinaan  sumber daya manusia meliputi; hamil, melahirkan dan menyusui serta  membesarkan, mendidik dan melindungi anak.
1.      Perempuan pertama-tama harus dilihat sebagai pribadi mandiri dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sumber daya manusia yang mempunyai hak, kewajiban  dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pengembangan potensi  dan pencerdasan diri. 
2.      Perempuan sebagai sumber insani bagi pembangunan  mempunya  hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk menggerakkan pembangunan melalui partisipasinya sebagai pelaku dalam segala bidang kehidupan bangsa dan dalam segenap kegiatan pembangunan. Dalam perkembangan dari masyarakat agraris ke masyarakatr industri pengintegrasian perempuan dalam pembangunan dilakukan melalui antara lain partisipasi mereka sebagai pelaku dalam alur utama pembangunan nasional.
3.      Perempuan sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk memantapkan kehidupan bangsa dan negara serta kehidupan beragama.
4.      Perempuan sebagai warga dunia juga mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki guna turut serta menciptakan dan membina kedamaian dunia yang abadi serta kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera.
5.      Perempuan sebagai istri mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan suaminya guna menciptakan dan membina warga sehat, sejahtera, dan bahagia serta ketentuan keluarga sebagai unit sosial terkecil, dimana suami dan istri saling menghargai, menghormati, mengisi, dan membantu dalam mengembangkan potensi, bakat, dan profesi masing-masing serta saling mencintai dan mengasihi.
6.      Perempuan sebagai ibu pendidik pertama dan utama dari anak-anaknya, dan suaminya sebagai bapak dari anak-anak mereka mempunyai tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembangnya anak-anak mereka secara optimal dalam rangka pembangunan manusia Indoneia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat indonesia.
7.      Perempuan sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga bersama-sama dengan suaminya (UU Perkawinan) bertanggung jawab atas terpenuhinya segala keperluan rumah tangga, baik berupa jasa maupun barang serta kebutuhan mental spiritual.
8.      Perempuan sebagai ibu bangsa dan umat manusia yang mengemban kodrat atau kepercayaan diri dari Tuhan Yang Maha Esa untuk memikul sebagian terbesar dari fungsi reproduksi dan pembinaan sumberdaya manusia.

PENUTUP
Berangkat dari paparan di atas dapat diketahui dan dipahami bahwa adanya asumsi-asumsi atau ketetapan yang selama ini dianggap benar dengan mengatasnamakan ajaran agama tentang eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial, ternyata “kurang benar”.
            Akhirnya kajian-kajian lain yang sepadan dengan kasus di atas pada kelanjutannya akan banyak muncul dan lahir disekeliling kehidupan manusia, disitulah peran agama dipertaruhkan. Benarkah Islam sebagai agama “Rahmatan Li al-Alamin”, sehingga kita akan menemukan jati diri Islam sebagai agama yang paripurna.
  

Catatan Kaki


1.      Ayat Al-Qur;’an yang populer dijadiakn rujukan dalam pembicaraan tentang asal mula kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4):1; "wahai manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakn mu dari nafs yang satu (sama) dan dari padanya Allah menciptakan pasangan yang banyak.............. banyak pakar tafsir yang memahami  "nafs dengan arti "Adam", dan pasangannya, yaitu isteri beliau "Hawa". Pendapat ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, tanpa laki-laki perempaun tidak akan ada. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpendapat bahwa perempaun (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab terdahulu hampir sepakat mengartiakn demikian. Pandangan ini agaknya bersumber pada sebuah hadits yang  menyatakan "Saling pesan memesanlah untuk berbuatbaik  kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok" (HR. Buhari, Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah). Hadits di atas dipakai para ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit juga ulama kontemporer yang memahami secara metafor. Majazi, bahkan ada yang menolak kesahihan hadits tersebut dengan mengatakn bahwa ia bersumber dari kitab perjanjian lama. Dalam kitab kejadian 2:21-24 disebutkan bahwa; "lalu tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak: ketika ia tidur, Tuhan allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutub tempat tersebut dengan daging. Dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada manusia itu". Dalam menanggapi masalah ini –Muhammad Rasyid Ridla—dalam tafsir al-Manar mengatakan bahwa "seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab perjanjian lam, niscaya pendapat yang keliru (mendiskedirkan perempuan) tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim". (lih. Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo, Dar al-manar, 1367 H, h, 330). Bagi ulama yang memahami secara metafor, majazi berpendapat bahwa hadits diatas memberikan perhatian kepada kaum laki-laki agar dalam menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderuangan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. Hal ini bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan (kodratnay), kalaupun dipaksakan akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang berngkok. Dengan pemahaman demikian, justeru menghantarkan adanya kata untuk mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodratnya (bawaannya sejak lahir). Lihat Lily Zkiyah Munir, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perpektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), 81

2.      Lih. Syamsul Arifin, Spiritualisasi Islam Dan Peradaban masa Depan (Yogyakarta, SIPRESS, 1996), 200.

3.      Dimulai dengan masyarakat Yunani yang dianggap sebagai barometer peradaban sejarah manusia yang terkenal dengan pemikiran dunia filsafatnya, dalam pandangan masyarakat Yunani dikalangan elit sosok perempuan ditempatkan di dalam istana, sementara dalam kalangan bawah mereka diperjual belikan, sedang mereka yang telah berkeluarga sepenuhnya berada dibawah kekuasaan suami. Pada gilirannya, dalam peradaban Yunani, perempuan diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memnuhi kebutuhan dan selera kaum lelaki. Kalau kita sekarang melihat di yunani banyak pemandangan-pemandangan berupa patung wanita telanjang yang dapat ditemui di sepanjang tempat adalah bukti sisa-sisa pandangan diatas. Peradaban Romawi menempatkan sepenuhnya perempuan dibawah kekuasaan ayah, baru setelah kawin, maka kekuasaan berpindah kepada suami, tapi pada dasarnya kekuasaan itu sama, yaitu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh, keadaan tersebut berlangsung sampai abad ke empat masehi sehingga hasil usaha perempuan menjadi hak milik keluasrganya yang laki-laki. Peradaban India dan Cina tidak juga lebih baik dari ayng lainnya. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Wanita harus dibakar hidup-hidup tatkala mayat suaminya dibakar. Hal ini baru berakhir pada abad  tujuh belas masehi. Dalam ajaran Yahudi martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan sebagai sumber segala laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga. Dalam ajaran Nasrani ditemikan bahwa perempuan adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Munir, memposisikan....., 78.

4.      Lih. Fatimah Mernissi, Women And Islam (London, Basil Blackwell, 1991), 49 dan 62

5.      Lih. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung, Mizan, 1992), 271.

6.      Lih. Al-Qur’an, Surat al-Nisa’: 1.

7.      Hadits inidikutib dari Ashgar Ali Engineer dalam The Rights of Women Islam (yogyakarta, LSPPA, 1994), 207.

8.      Ibid., 206.

9.      Lih. Didin Syafruddin, “Argumentasi atas Perempuan: Penafsiran Klasik QS. Al-Nisa’; 34 dalam Ulumul Qur’an, Vol. V No. 5 1994, 5.

10.  Lih. Ali Ash-Shabuny, Rawai’ Al-Bayan (Damaskus: maktabah al-ghazali, 1977), Juz I, 66. juga Lih. Syamsul Anwar , “Masalah Wanita menjadi pemimpin dalam Perspektif Fiqh Siyasah,”  dalam al-jami’ah No. 56, 1995, 389.

11.  Lih. Armahedi Mahzar, Wanita dan Islam dalam pengantar buku “Mashar al-Haq” Wanita Islam Korban patologi sosial (Bandung, Pustaka, 1995), xii.

12.  Lih. Robert Bellah, Beyond Bilief (Los Angels University of California Press, 1988), 18.

13.  Lih. Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997), 65

14.  Lih. Aminah Wadud Muchsin, Wanita Dalam Al-Qur’an (Bnadung, Pustaka, 1994), 1.

15.  Ibid., 3.

16.  Lih. Abdullah, Sangkaan Paran....., 66.

17.  Lih. Wardah hafidz, “Feminisme: Agenda Baru Pemikiran Islam,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3, 1995, 109

18.  Lih. Muhammad Arkoun, “Wawancara Tentang Metode Kritik Akal Islam,” dalam Ulumul Qur’an, Vol, V, No. 5 dan 6, 1994, 157.

19.  Lih. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz II (Mesir: Al-halabi waAuladuhu, 1963), 313.

20.  Lih. Al-Haitami, Tafsir Al-Haitami, juz II (Mesir: (?) 1958), 34, dalamAndi Rasdinayah Amin, Pesantren, Vol, IV, 1989, h, 22.

21.  Lih. Abadullah Ahmed Al-Naim, Toward an Islamic Reformation (Yogyakarta, LKIS, 1994), 336.

22.  Lih. Dadang S. Anshori dkk, Membincangkan Fenisme (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 6.

23.  Lih. Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 13.

24.  Lih. Al-Qur’an surat Al-baqarah: 286.
25.  Munir, memposisikan......, 19.

26.  Lih. Muhammad Syaltut, dalam Munir, memposisikan...., 80.

27.  Lih. Shihab, Membumikan....., 270.

28.  Lih. Muhammad Al-Razi, Tafsir Al-Razi, Juz III (bairut: Dar Al-Fikr, 1985), 2.

29.  Lih. Musthafa al-Siba’i, Al-mar’ah baina Al-Fiqh wa Al-Qanun (Damaskus: Maktabah Al-Arabiyah Thaba’ah Tsanaiyah, 1956), 25-30. Lihat juga Anwar Hardjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), 102.

30.  Lih. Al-Qur’an Surat Ali Imron: 195.

31.  Lih. Dadang S. Anshori dkk, Membincangkan Fenisme (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 145


DAFTAR PUSTAKA


Anwar Hardjono, 1995, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta, Gema Insani Press.

Ali Ash-Shabuny, 1977, Rawai’ Al-Bayan, Juz I, Damaskus, Maktabah al-Ghazali, Juz I.

Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1963, Tafsir al-Maraghi, Mesir, Al-halabi wa Auladuhu.

Aminah Wadud Muchsin, 1994, Wanita Dalam Al-Qur’an, Bandung, Pustaka.

Abadullah Ahmed Al-Naim, 1994, Toward an Islamic Reformation (terjemahan), Yogyakarta, LKIS.

Armahedi Mahzar, 1995, Wanita dan Islam dalam pengantar buku “Mashar al-Haq” Wanita Islam Korban patologi sosial, Bandung, Pustaka.

Dadang S. Anshori, 1997, Membincangkan Feminisme, Bandung, Pustaka Hidayah.

Departemen Agama Republik Indonesia, 1974, Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Didin Syafruddin, “Argumentasi atas Perempuan: Penafsiran Klasik QS. Al-Nisa’; 34 dalam Ulumul Qur’an, Vol. V No. 5 1994, 5.

Fatimah Mernissi, 1991, Women And Islam, London, Basil Blackwell.

Haitami, Tafsir Al-Haitami, juz II, Mesir: 1958, h.34, dalam Andi Rasdinayah Amin, Pesantren, Vol, IV, 1989, h, 22.

Irwan Abdullah, 1997, Sangkan Paran Gender Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Lily Zakiyah Munir, 1999, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perpektif Islam, Bandung, Mizan.

Muhammad Rasyid Ridlo, 1367, Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo-Mesir, Dar al-Manar.

Muhammad Arkoun, “Wawancara Tentang Metode Kritik Akal Islam,” dalam Ulumul Qur’an, Vol, V, No. 5 dan 6, 1994, 157.

Muhammad Al-Razi, 1985, Tafsir Al-Razi, Juz III Bairut,  Lebanon, Dar Al-Fikr.

Musthafa al-Siba’i, 1956, Al-mar’ah baina Al-Fiqh wa Al-Qanun Damaskus, Maktabah Al-Arabiyah Thaba’ah Tsanaiyah.

Quraish Shihab, 1992, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyaraka, Bandung, Mizan.

Robert Bellah, Beyond Bilief, terjemah; Rudi Harisyah Alam, Jakarta, Paramadina.

Syamsul Arifin, 1996, Spiritualisasi Islam Dan Peradaban masa Depan, Yogyakarta, SIPRESS.

Wardah hafidz, “Feminisme: Agenda Baru Pemikiran Islam” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3, 1995, h.109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar