AGAMA DAN GENDER :
Telaah Perempuan Dalam Islam Dan
Struktur Sosial
H. Muhammad Yazid
Gender Dalam Struktur Sosial
Wacana gender
pada perkembangannya pasca pemilu 1999 semakin menyeruak ke permukaan. Hal ini
dipicu oleh sebuah kenyataan tampilnya Megawati Soekarnoputri sebagai calon
presiden PDI-P, partai yang memenangi pemilu. Maka, perkembangan sosial politik
saat itu sangat sarat dengan wacana gender.
Sejalan dengan
isu tersebut, dalam tulisan ini akan dicoba mengkaji eksistensi gender dalam
kehidupan sosio-kultur dalam perpektif Islam. Pemilihan perspektif ini
dilakukan karena bagaimanapun Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas
rakyat Indonesia, maka dengan sendirinya harus dapat menyikapi perkembangan dan
atau pererubahan sosial yang kini memerluakn solusi yang tepat dan jitu.
Sebenarnya ide
tulisan ini diilhami oleh Ashgar Ali Engineer yang mengajukan gagasan yang
tidak saja menarik, tapi juga mendasar --kalau tidak dikatakan radikal--
melalui pembacaaan yang kritis terhadap muatan-muatan ajaran Islam dalam
Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan. Hal ini dipicu oleh adanya
ketimpangan dalam wacana teologi Islam yang tidak saja melahirkan perlakuan
yang kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan struktural, tetapi
secara simultan mengakibatkan terjadinya pengerdilan
nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran Islam.
Pemikiran ini
sangat relevan dan menarik apabila dikaitkan dengan perspektif kekinian pasca pemilu yang telah begitu
jauh menjadi discourse utama dalam wacana intelektual Indonesia. Dengan segala
implikasi epitemologisnya, tulisan ini mencoba memberikan peluang adanya
perkembangan kritik terhadap teks-teks agama yang telah diputarbalikkan
sedemikian rupa dan telah memuculkan struktur sosial yang eksploitatif dan diskriminatif
yang dengan sendirinya tidak sejalan dengan pesan agama Islam yang paling
fundamental, yaitu agam yang menjunjung
tinggi konsep egalitarian disegala aspek kehidupan.
Wacana teologi
yang telah menjadi kajian besar terutama di lingkungan masyarakat Islam, telah
mengakibakan adanya disorientasi
teologis karena menguntungkan satu pihak dan merugiakan serta mengeksploitasi
pihak-pihak yang lain.
Pemikiran di
atas ingin mencoba merombak tatanan pengetahuan yang dalam wacana perempuan
menimbulakn teologi patriarkhi untuk
selanjutnya diformalisasiakan menjadi teologi yang bersifat emansipatoris yang
dapat memberikan langkah eksistensi terhadap kaum perempuan untuk lebih
leluasa.
Ada dua
sasaran kritik teologi gender. Pertama
diarahkan pada bias sosio-antopologis
sebagai akibat kuatnya budaya patriarkhi, kedua
pada anggapan yang mendasari produk pemikiran teologis tentang posisi dan peran
wanita, sebelum lebih jauh masuk pada kajian teks-teks Kitab sici. Terhadap
kajian wacana yasng disebut terakhir ini, teologi gender menganggapnya sebagai wacana yang terbuka, bukan sebagai
wahyu dalam bentuk yang sudah jadi, lengkap dengan segala asesorisnya, sehingga
tidak terbuka pintu bagi manusia untuk merekonstruksi.
Dengan
pendekatan hermeneutika, teologi gender kekinian mengembangkan kajian teks yang
bersifat historis dan kritis. Dengan langkah-langkah ini
teologi gender tidak berhenti pada kritik saja, tapi lebih jauh ingin menwarkan
pandangan dan solusi yang juga bertolak pada agama tentang posisi dan peran
perempuan yang lebih berimbang dan humanis,
yang selanjutnya pada tataran praktis-operasional pandangan tersebut akan
mengimplikasikan terjadinya perubahan sosial (struktural).
Dalam kritik teologi gender,
kuatnya budaya patriarkhi
mengakibatkan lahirnya pengaruh yang besar terhadap terbentuknya wacana sosial
yang relevan dengan kenyataan budaya tersebut, sehingga tidak megherankan bila
eksistensi perempuan kurang mendapat perhatian dalam diskursus teologis.
Kalaupun diangkat menjadi tema-tema pembicaraan teologis, wanita masih
seringkali dipersepsi sebagai yang subordinat, karena semata-mata ingin
mempertahankan superioritas kaum laki-laki. Kenyataan ini, misalnya terlihat
ketika penafsiran "Zawjaha"
dalam Al-Qur’an yang diberi arti sebagai
manusia kedua yang diciptakan dari tulang rusuk Adam.1
Dalam sejarah penafsiran
semacam ini tidak saja berakibat pada mandegnya
pemikiran teologis yang semestinya terus
dikembangkan untuk mencari rumusan yang konstruktif
tentang posisi dan peran perempuan dimasa depan. Lebih penting lagi pemikiran
ini juga telah mengakibatkan adanya berbagai penyimpangan yang secara
fundamental bertentangan dengan misi agama Islam sebagaimana agama "Rahmatan li al-Ãlamîn" yang
membebaskan dan mengutamakan kesamaan eksistensi personal antara sesama mahluk.
Dari
kritik terhadap bias sosiso-antropologis
tersebut, teologi gender juga mengajukan kritik terhadap kesalahan dalam
memahami teks-teks kitab suci yang disebabkan oleh asumsi dasar yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara teologis.
Menurut
Riffat Hasan ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi
pemikiran teologi dilingkungan umat Islam Pertama;
Bila mahluk yang bernama hawa
diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, maka dengan sendirinya perempuan
diyakini sebagai mahluk yang secara otomatis adalah sekunder. Kedua; bahwa perempuan --bukan laki-laki-- yang
merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam dari surga atau yang kita kenal
sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, karena itu semua anak
perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan --bahkan--
hina. Ketiga;bahwa perempuan
diciptakan pada dasarnya adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya
hanyalah pelengkap.2
Asumsi diatas
telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman para ulama terhadap teks kitab suci
tentang pencipataan manusia yang secara serta merta menempatkan laki-laki
diatas perempuan , pada hal sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan kitab
suci tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan perempuan,
walaupun al-Qur’an menggunakan istilah laki-laki dan perempuan, maskulin dan
feminim, tidak dimaksudkan untuk memperioritaskan yang satu dan merendahkan
yang lain, karena pada dasarnya hakekat penciptaan mahluk secara eksistensial
adalah sama.
Tuhan menyebut
seluruh umat manusia dimuka bumi sebagai khalifah.
Dengan demikian dalam kehidupan sosial tidak ada perbedaan karena adanya
kualitas penciptaan secara biologis.
Demikianlah
kita telah melihat kritik teologi gender telah menyentuh persoalan yang
demikian luas dan mendasar. Dikatakan demikain karena teologi gender tidak saja
terbatas pada analisis struktural tapi telah memasuki persoalan yang mendasar,
yang berkaitan dengan pandangan masyarakat dunia tentang hubungan laki-laki dan
perempuan yang dikembangkan berdasarkan pada pemahaman teks-teks kitab suci.
Apa yang
ditawarkan dalam kajian gender dengan mengambil acuan pada wacana teologi akan
memberikan peluang tumbuh kembangnya diskursus teologi yang bersifat emansipatoris, tidak saja untuk kaum
hawa, tapi untuk semua umat manusia.
Untuk itu
tulisan ini ingin membahas tentang perempuan dalam perspektif historis dan
teologis dengan pendekatan tafsir hermeneutik dan multi perannya.
Gender : Sebuah Telaah Historis
Berbicara masalah perempuan tidak
dapat dipisahkan dari sudut pandang sejarah. Perjalanan perempuan dalam lintas
sejarah sebelum Al-Qur’an diturunkan membuktiakn bahwa telah sekian banyak
peradaban-peradaban besar memberikan pelajaran dan pandangannya, seperti
Yunani, Romawi, India dan Cina serta agama-agama yang telah ada, misalkan,
Yahudi dan Nasran, Budha, Zoroaster dan sebagainya.3
Pandangan terhadap perempuan dalam peradaban
masyarakat sebelum islam sedikit banyak mempengaruhi pemahaman sementara ulama
terhadap teks-teks Islam, bahkan sebagian apa yang dianggap ajaran agama
ternyata bersumber pada budaya dan pandangan diatas, tidak bersumber pada
ayat-ayat Al-Qur’an. Ini dikuatkan lagi dengan banyaknya bentuk-bentuk ayat
dalam teks-teks agama islam yang disalahpahami tujuannya oleh sementara pihak.
Realita diatas
juga mengakibatkan timbulnya siakp kegusaran kaum laki-laki manakala derajat
kesamaannya dipersamakan dengan kaum perempuan.4 Secara umum perempuan selalu dimunculakn
sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya.
Sudah sepuluh abad lamanya pandangan ini hampir mewarnai seluruh budaya manusia
dan kemudian mendapat legitimasi dari ajaran agama-agama besar seperti, Yahudi,
Kristen dan Islam.
Ketiga agama
tersebut percaya bahwa Adam adalah manusia yang pertama, sementara Hawa
diciptakan dari tulang rusknya,5 meski tidak satu ayat Al-Qur’an pun memuat ungkapan Hawa dalam
peristiwa penciptaan. Al-Qur’an hanya menunjukkan bhwa Adam dan pasangannya
diciptakan dari esensi dzat yang sama.6
Sumber yang
dijadikan rujukan lahirnya pandangan tersebut adalah hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu
Hurairah yang menegaskan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam
yang bengkok, ia akan patah bila kamu besikap keras untuk meluruskannya.7 Namun beberapa
kalangan pendapat bahwa apa yang disebut dalam Al-Qur’an lebih dapat
dipertanggung jawabkankeontektikannya daripada periwayatan hadits diatas
tersebut. Disamping itu Islampun tidak pernbah menyatakan bahwa Hawa adalah
pihak yang menyebabkan kejatuhan Adam kedunia, namun toh demikian dalam
karya-karya klasik Islam maupun sebagian yang kontemporer, sosok perempuan
digambarkan sebagai sumber kejahatan, birahi dan dekadensi moral yang akan
menjerumuskan laki-laki ke dalam neraka.8 Untuk masalah ini lebih lanjut akan dibahas
dalam paparan yang kemudian.
Secara
historis adanya sifat kegusaran ini ada sejak Islam lahir sebagai gerakan reformasi budaya. Penolakan terhadap
Islam oleh masyarakat Arab adalah bukti yang sangat jelas merupakan merupakan
penolakan atas moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas kaum
laki. Seruan akan keesaan Allah meruntuh lantakka kewibawaan laki-laki sebagai
kepala suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah atas anak-anaknya, saudara
laki-laki atas saudara perempuan dan suami atas istrinya, dan semua sahabat
dapat segera memberikan respon emansipatif terhadap reformasi sosial ini,
bahkan setidaknya Umar bin Khaththab pernah mengalaminya dan mengatakn bahwa
memberikan terlalu banyak kepada perempuan sama saja dengan membiarkan mereka
dikuasai oleh kaum perempuan, bahkan sepeninggal Nabi kecenderungan pada
superioritas kaum laki yang belum sepenuhnya terkikis oleh reformasi budaya
Islam kembali menguat. Hal ini tampak pada interpretasi para sahabat terhadap
beberapa ayat Al-Qur’an. Dari sekian banyak sahabat yang dipandang mempunayi
kapasitas penafsiran yang tidak diragukan lagi dikalangan sahabat yang lainnya
seperti, Ibnu Abbas, tertap saja menempatkan laki-laki sebagia penguasa, pemimpin
dan pengontrol perempuan.9
Contoh dari sekian banyak pembalikan fakta dari konteks suatu ayat
adalah ayat (34) surat al-Nisa’ yang dari sudut asbabun nuzulnya menyangkut
dibebankannya taklif pada laki-laki serangkaian dengan peristiwa bahwa seorang
sahabat Rasulullah mengadu, ia telah dianiaya oleh suaminya. Sambil menaruh
rasa gusar dan iba Rasulullah memrintahkan sahabat untuk memanggil suaminya
untuk menghadap beliau, lalu turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bagi
kaum laki-laki untuk bersikap menjaga kepada perempuan.10 Ayat ini memberikan
peringatan agar laki-laki dapat memperlakukan perempuan dengan baik dan
memberikan nafkah guna mendukung proses generasi selanjutnya dalam keluarga.
Ironisnya pada perkembangannya, justru ayat ini digunakan untuk
mengancam kaum perempaun supaya selalu mentaati laki-laki sampai melampaui
otoritas perempuan untuk beribadah kepada Allah dengan dasar dan dalil pada
hadits Rasulullah diatas yang dengan
sendirinya menuntut untuk dikritisi kebenaran sanad (proses periwayatan)serta
matan(susunan isi hadits). Seorang isteri harus mendapat izin untuk melakukan
ibadah yang sunnah hukumnya. Dalam kondisi demikain manakala suami tidak
mengizinkannya, maka isteri harus membatalkan dan atau meninggalkannya,
sehingga isteri tidak mempunayi pilihan kecuali mengabulkan kehendak tersebut.
Benarkah agam mengajarkan syari’ah yang demikian?.
Sepeninggal
Nabi, banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat Islam. Perubahan
ini berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis
menjadi sistem monarkhi yang absolut.11 Sistem patriarkhi
feodalistik dan hirakhis muncul untuk mengembaliakn status quo kaum lelaki yang
dilindas oleh reformasi Islam, sehingga realita ini semakin menjauhkan
masyarakat Islam dari modernitas yang pernah dicaspai oleh Rasulullah dan para
sahabatnya.12
Dalam kondisi
demikian, sejauh menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan, kaum teolog
diharapkan pada suatu keharusan untuk melakukan interpretasi teks-teks
Al-Qur’an dalam upaya kontekstualisasi Islam terhadap budaya setempat. Dalam
proses kontekstualisasi ini inkulturasi tidak dapat terelakkan. Meski demikian
kendali politis tidak selalu memberikan peluang bagi para teolog progresif
untuk menyeruakan keadilan yang hakiki. Ini terbukti dari beberapa pemikir yang
harus menghadapi kematian dan penjara bila mereka tidak menyediakan alat
jastifikasi bagi kepentingan raja; kaum laki-laki.13
Secara praktis
dominasi laki-laki atas perempuan dalam masyarakat patriarhi sepadan dengan
dominasi raja atas rakyatnya. Keduanya membutuhkan ketundukan yang menyeluruh.14 Eksklusivitas
dibidang teologi adalah konsekuensi logis dari dominasi diatas, karena semua
teolog adalah laki-laki, maka yang terakomodasi dalam kitab-kitab tafsir dan
figh adalah kepentingan penguasa; laki-laki, dan tidak terdengarkannya suara
perempuan dalam penafsiran Al-Qur’an dan formulasi fiqh (hukum Islam) sama
sekali tidak menjadi perhatian para intelektual muslim, bahkan seringkali
dianggapsebagai ketiadaan suara perempuan dalam aayt-aayt Al-Qur’an.15
Gambaran umum
perempaun dalam wacana klasik terdokumentasi secara sistematis dalam kitab-kitab fiqh. Sementara antara
Al-qur’an dan fiqh harus dibedakan.. yang pertama adalah teks yang dihasilakan
oleh peristiwa pembentukan pertama, sedangkan yang kedua adalah kaedah hukum
yang diambila dari Al-Quran.
Secara umum
perempuan digeneralisasikan sebagai mahluk yang melebur kedalam citra laki-laki, separo laki-laki. Kitab-kitab Fiqh
telah mengaburkan posisi sentral "keibuan" yang penuh kewibawaan dan
kebijaksanaan menjadi posisi "keistrian" yang submisif dan
tergantung. Sesungguhnya Al-Qur’an menuntut penghormatan timbal balik antara
suami istri. Yang lebih parah lagi banyak kondisi yang ditopang oleh munculnya
hadits-hadits palsu, seperti: tidak akan masuk surga sorang istri kecuali atas
ridla suaminya.16
Dan juga contoh kasus di Lombok ada seorang ulama yang mengatakn bahwa
perempuan yang rela dimadu oleh tuan guru (kiyai) maka ia akan mendapatkan
"payung Fatimah" yang
memungkinkan ia akan masuk surga bersam tuan guru.17
Menggagas Gender ; Sebuah Rekonstruksi
Menempatkan
posisi perempuan dalam dialektika agama dan budaya adalah menelaah suatu proses
interpretasi yang terus berlangsung. Posisi ini memiliki dua sisi mata uang.
Satu sisi inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan dengan berbagai
literatur yang kontekstual serta mengakomodisikan permasalahan lokal yang
beragam untuk diberi sentuahn universalitas ajaran agama adalah sebuah kajian yang tak terelakkan. Disisi
yang lain inkulturasi telah mereduksi peesan-pesan universal agama dalam
semesta intelektual suatu masyarakat lokal. Sakralisasi produk keagamaan yang
interpretatif untuk diterapkan dalam semua kurun waktu justeru akan mengaburkan
semangat emansipatif suatu agama.
Sakralisasi tersebut menurut Muhammad Arkoun bagaikan lapisan-lapisan geologis
yang menyembunyikan inti bumi.18 Untuk mengetahui inti ajaran agama yang masih segar dan kaya
nuansa pembebasan, seseorang harus mampu membongkar literatur terdahulu bahkan
sampai yang modern sekaligus.
Salah seorang
mufassir yang mencoba mengkaji terhadap masalah agama yang berdimensi sosial
termasuk dalam kaitan relasi gender adalah Musthafa al-Maraghi yang mengatakan
bahwa pengaturannya harus diselaraskan dengan perkembangan suatu masyarakat.19 begitu pula secara
khusus Al-Haitami mengemukakan bahwa asumsi tentang superioritas laki-laki
terhadap perempuan hanya merupakan generelisasi belaka, kenyataan membuktikan
bahwa banyak pula perempuan mempunayai kemampuan yang sebanding dengan
laki-laki secara intelektual, profesional dan keterampilan.20
Paparan diatas senada dengan
gagasan transformatif yang ditawarkan oleh Abdullah Ahmed al-Amin, bahwa
transformasi terhadap ketentuan-ketentuan Islam adalah sebuah keharusan demi
untuk memperoleh formulasi hukum yang
memadai bagi kehidupan Islami kontemporer.21 Ditengah meningkatkan kesadaran
"harga kemanusiaan" perempuan dan pihak-pihak yang tertindas, maka
formulasi hukum klasik tradisional dan parsial sudah harus ditinggalkan. Dengan
cara itu Islam akan mampu tampil menjadi ideologi
yang tetap dinamis dan membawa kesejahteraan semesta.
Rekonstruksi gender bukan hanya dilatarbelakangi
oleh sikap superioritas laki-laki selam ini, namun jelmaan dari kehendak
otoritas perempuan untuk menjadi sosok yang sejajar dengan laki-laki. Gerakan
ini ditandai dengan adanya gerakan kemandirian oleh kelompok perempaun dalam
semua segmentasi kehidupan.
Pembongkaran radikal dilakukan pula pada norma-norma keluarga antara suami
istri, misalkan bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak prerogratif seorang
perempuan, dan perempuan berhak menentuakn sikap untuk menolaknya. 22
Gender Dalam Teologi Islam
Sesuai
dengan judul diatas, diawali dengan meluasnya tuntutan gerakan feminis
belakangan ini, maka konsekuensi logis sebagai masyarakat yang beragama kita
harus memberikan respons teologis secara kritis, sistematis dan mendalam, yakni
bagaimana kita mencoba menerjemahkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks seperti
ini. Dengan melibatkan pembicaraan dalam kacamata agama, maka dengan sendirinya --yang pertama-tama-- adalah tata nilai
ajaran agama. Ada lapis tata nilai yang bersifat Fundamental (Fundamental Values) dan ada pula tata
niali yang bersifat Instrumental (Instrumental
Values).
Dalam ajaran
Islam tata nilai tersebut ada yang disebut dengan istilah Muhkamat yang mempunyai kapasitas universal misalkan pandangan tentang egalitarian dan persamaan
derajat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, karena masing-masing
hanya akan ditentukan oleh amal perbuatan dan ketaqwaannya23 dan masing-masing
laki-laki dan perempuan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat sendiri.24 Dalam tataran yang
fundamental ini hampir tidak ada persoalan.
Disamping
sebutan Muhkamat adalah ajaran yang
bersifat Mutasyabihat atau yang biasa
disebut pada level Instrumental, yang
bersifat aplikatif dan kontekstual dan muali muncul perbedaan-perbedaan visi
karena perbedaan latar belakang budaya sosial dan sebagainya. Pada tataran yang
kedua inilah semua aturan atau yang biasa disebut dengan fiqh durumuskan, misalkan
tentang cara berpakian, seberapa yang harus ditutup atau sampai batas-batas
mana bagian tubuh yang boleh dibuka. 25 berangkat dari usulan diatas, kita mencoba mengkaitkannya
dengan berbatgai persoalan perempaun problematik, krusial dan kontroversial
pada era kekinian. Untuk menjawab persoalan diatas secara tidak langsung telah
tercaver dalam tulisan pengantar diawal karena itulah pandangan wacana Islam
terhadap teologi gender secara global.
Dari ayat
diatas, jelas bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir
dikata adalah sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempaun sebagaimana
menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Allah
potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan
kedua jenis kelamin tersebut dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus, oleh karena itu hukum-hukum syari’ah pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka, yang satu (laki-laki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum serta menuntut dan
menyaksikan.26
Kendati demikian tidak sedikit faktor yang mengaburkan keistimewaan dan memerosotkan kedudukan
tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan
sehingga tidak jarang agama (Islam)
diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.27
Dalam
Al-Qur’an secara konkrit ( lafdhiyah)
tidak ditemuakn kata yang berarti gender, akan tetapi jika yang dimaksud gender
itu adalah istilah yang ditujukan untuk membedakan antara laki-laki dan
perempuan, maka terdapat beberapa ayat didalam Al-Qur’an yang mengungkap jenis
laki-laki Al-Qur’an menggunakan istilah "al-Rijal" dalam berbagai bentuk yang terulang sebanyak 57
kali. Begitu pula dengan istilah yang digunakan untuk mengungkap jenis
perempuan dengan mengguankan istilah "al-Nisa’"
yang disebut pula sebanyak 57 kali.
Begitu pual
dalam Al-Qur’anasal usul dan proses kejadian perempuan tidak dijelaskan secara
konkrit dan terperinci, bahkan nama Hawa yang dipersepsiakn sebagai perempuan
pertama dan sekaligus menajdi istri Adam yang nota benenya mirip dengan cerita
yang ada dalam kitab kejadian lama (Al-Kitab) sama sekali tidak pernah
disinggung dalam al-Qur’an, justru keterangan yang terkait dengan ini adalah
ditemukan dalam hadits, misalkan:
Ketika Allah
mengusir Iblis dari taman Adn lalu didalamnya ditempatkan Adam, karena ia tidak
mempunayi teman maka Allah menidurkannya, lalu mengambil unsur dari tulang
rusuk kirinya kemudian menggantikan daging ditempat semual, kemudian
menciptakan hawa daripadanya. Ketiak bangun Adam menemuakn seorang perempuan
disampingnya, Adam bertanya, siapa anda? Hawa menjawab, "perempuan"
Adamkembali bertanya, mengapa engkau diciptakan? Hawa menjawab supaya engkau
mendapat kesenangan dari diri saya. Para malikat bertnya, siapakah namanya ?
dia menjawab Hawa, mengapa dipanggil Hawa ? Karena diciptakan dari sebuah benda
hidupnya.28
Dan juga hadits:
Jagalah
perempuan itu baik-baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk,
bagian tulang rusuk yang paling rapuhadalah
bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya, ia akan patah, jika engkau
membiarkannya, maka ia akan terus bengkok, oleh karena itu jagalah perempuan
baik-baik.
Namun
untuk hadits tersebut para ulama masih mempersoalkannya, karena dari segi
matannya, hadits tersebut bersimpangan dengan nash Al-Qur’an (khususnya surat
al-Nisa’: 1).
Kata "minha" dalam ayat tersebut, jumhur ulama (mufasir)menafsirkannya dengan "dari bagian tubuh Adam",
tapi apakah yang dimaksud dengan dari bagian tubuh Adam itu "tulang
rusuk". Diantara sekian mufasir yang tidak setuju dengan arti demikian
adalah Muhammad Al-Razi (dalam tafsirnya Al-Razi), mengatakan: yang dimaksud
dengan "dan daripadanya Allah menciptakan zaujnya", sekiranya Hawa manusia pertama yang diciptakan dari
tulang rusuk, maka niscaya manusia diciptakan dari dua nafs, bukan dari satu nafs
sebagaimana ayat diatas. Oleh karena itu jika kamu sekalian diciptakan dari
nafs yang satu, dan Allah dengan kehendaknya menciptakan Adama dari tanah (turab), maka dengan kehendaknya juga
Allah menciptakan Hawa dari tanah, jika demikian adanya, mka apa gunanya
mengatkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.29
Konsep
teologis lain yang perlu mendapat perhatikan dalam kerangka ini adalah adanya
citra negatif yang diberikan pada perempuan bahwa Hawa sebagai penyebab
kejatuhan Adam dari surga dengan rayuannya sehingga ia memakan buah khuldi. Asumsi yang demikain pada
gilirannya ditimpahkan kepada kaum Hawa sehingga perempuan dianggap senantiasa
berada dibawah otoritas dan dominasi laki-laki. Tapi benarkah Al-Qur’an
menjelaskan demikian?.
Mari
kita liaht dalam Al-Qur’an (2); 36 dan (7); 20-24 justeru menunjukkan dlamir tatsniyah (yang berarti dua),
yaitu berbentuk "huma" yang
dengan sendirinya tidak ditujukan pada Hawa, melainkan keduanya (Adam dan
Hawa). Dengan demikain tidak ada satupun ayat Al-Qur’an dan hadits yang
mengisyaratkan hawa sebagai penyebab utama terjadinya kasus Adam tersebut,
bahkan rasa penyesalannya pun dinyatakn bersasm-sama dan akhirnya Allah mengampuni
keduanya.30
Selain
dari kedua contoh diatas, ada satu persoalan yang pada saat ini banyak mendapat
anggapan publik bahwa dengan dasar itu mereka beragumentasi dan berdalih bahwa
laki-lakilah ayng berhak menjadi pemimpin. Dasar yang dijadikan acuan mereka
adalah Al-Qur’an (4);34, yaitu "al-Rijaalu
Qawwaamuuna ’ala al-Nisa’ bimaa
Fadldlalallahu wa biam Anfaqu" benarkah anggapan yang demikian?.
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita cermati ayat rersebutr dari dua sudut
pandang, yaitu asbabubnuzul dan proses
penafsirannya. Pertama; dari segi asbabun nuzul, maka jelas ayat tersebut
diturunkan ketika salah seorang sahabat Nabi menganiaya istrinya, lalu dengan
rasa tidak terima atas perlakuan tersebut ia menghadap Rasulullah seraya
mnengadukan peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar cerita wanita itu sambil
menahan rasa marah Nabi memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk
memanggil suami terrsebut, kemudian turunlah ayat diatas sebagai peringatan
bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga dan mengayomi kepada perempuan, maka
dengan sendirinya ayat ini memberikan peringatan pada kaum laki-laki agar dapat
memberlakukan perempuan dengan baik dan memberi nafkah guan proses generasi
dalam keluarga.
Kemudian
dari sisi penafsiran kita sejenak menengok kajian tafsir, dalam ilmu tafsir
dikenal istilah ″tafsir al-ayat bi
al-ayat″ (metode penfsiran pada sebuah ayat yang telah diberikan penafsiran
sendiri oleh ayat yang lain, tanpa membutuhkan penafsiran lebih lanjut dari
ahli tafsir). Kalau kita perhatikan secara seksama ayat diatas secara tekstual
menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, akan tetapi
jangan diberhentikan sampai cukup kalimat disitu, taspi harus dilanjutkan pada
kalimat selanjutnya (karena kaliamt selanjutnya adalah sebagai penafsiran),
yaitu ″Bima Fadldlalallahu wa bima anfaqu″,
bahwa laki-laki menjadi pemimpin perempuan itu karena dua sebab, pertama, (bima Fadldlallahu) karena Allah memberikan kelebihan (anugerah)
kepada sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (perempuan).
Kedua, (wa bima anfaqu), karena laki-laki mempunayi kewajiban untuk
memberikan nafkah kepada perempuan.
Kata “Fadldlala” dalam ayat tersebut berarti
bahwa dari segi fisik laki-laki diciptakan dengan susunan organ tubuh yang
lebih kuat daripada perempuan dan atau dari segi biologis perempuan diberikan
keterbatasan-keterbatasan seperti mengandung, melahirkan menyusui dan datangnya
tamu setiap bulan. Tapi manakala perempuan dapat mengatasi dan membatasi
keadan-keadaan yang tidak dapat dihindari tersebut dan juga didukung oleh
kemampuan diri yang bagus, tidak menutup kemungkinan ia menjadi pemimpin, toh
secara empiris tidak sedikit wanita yang mampu mengeliminir
keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan langkah antisipatif pada suatu
kondisi, dan banyak pula perempuan yang mempunyai kemampuan intlektual dan atau
penghasilannya melebihi laki-laki.
Dengan
demikian ayat tersebut justeru mengakui keberadaan laki-laki dan perempuan,
bahwa keduanya adalah makhluk yang mempunyai status yang sama baik dalam
kapasitasnya sebagi hamba Allah (mengabdi) maupun sebagai wakil Allah di bumi
(khalifah). Antara yang satu dengan yang lain tidak terdapat superioritas baik
dari segi asal-usul kejadiannya maupun struktur sosial dalam masyarakat. Dengan
demikian, prinsip murni dalam al-Qur’an adalah kesetaraan total antara
laki-laki dan perempuan sebagaimana ditunjukkan oleh adanya tanggung jawab yang
sama di hadapan Allah pada hari pembalasan.
Peranan Perempuan dalam Pengembangan SDM
Perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki dalam pembangunan, karenanya perempuan adalah mitra sejajar
laki-laki. Disamping itu kedudukan perempuan dalam rumah tangga perlu
ditingkatkan, demikian pula dengan pengakuan terhadap kodrat perempuan yang
harus dilindungi dan dijunjung tinggi.
Peningkatan kemampuan perempuan dalam pembangunan diarahkan pada
penguasaan iptek, proses pengambilan keputusan dalam menghadapi perubahan dalam
masyarakat maupun dunia internasional. Oleh karena itu perlu adanya proses
menuju pengembangan dan peningkatan ketahanan mental dan spiritual agar dapat
memanfaatkan kesempatan berperan aktif dalam segala bidang kehidupan bangsa dan
segenap kegiatan pembangunan.
Secara prinsipil
peranan perempuan dapat dikategorikan dalam tiga bagian;
1. Peran sebagai istri
2. Peran sebagai Ibu
3.
Peranan sebagai anggota masyarakat
Peranan perempuan dalam masyarakat diartikan sebagai kedudukan mereka menurut hukum dalam masyrakat serta dalam hubungannya dengan laki-laki. Yang dimaksud dengan peranan
perempuan adalah fungsi yang diberikan
kepada atau yang diwujudkan oleh
perempuan, atau fungsi yang diharapkan oleh
masyarakat.31
Berkenan dengan itu, kiranya perlu kita memperhatikan dua hal pokok dalam mengidenfikasi berbagai kedudukan
dan peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Pertama, adalah bagaimana
keadaan objektif kedudukan dan peranan
perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kedua, bagaimana keadaan normatifnya menurut hukum.
Tentu tidak mungkin untuk memberikan gambaran lengkap dengan keadaan objektif perempuan dalam tulisan
singkat ini. Oleh karena itu, di bawah ini
akan diidentifikasi hanya beberapa kedudukan dan peranan saja yang
kiranya amat perlu dan penting
diperhatikan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Dalam keluarga, perempuan pada umumnya
masih merupakan penanggung jawab dan
pelaku utama bagi terlaksananya tugas-tugas rumah tangga, fungsi reproduksi dan
pembinaan sumber daya manusia, serta berbagai tugas keluarga lainnya. Tugas-tugas rumah tangga meliputi
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemeliharaan atau penyediaan alat-alat
rumah tangga, sandang dan pangan, urusan
dalam rumah dan pekarangan. Fungsi reproduksi dan pembinaan sumber daya manusia meliputi; hamil,
melahirkan dan menyusui serta
membesarkan, mendidik dan melindungi anak.
1. Perempuan pertama-tama
harus dilihat sebagai pribadi mandiri dalam lingkungan keluarga, masyarakat,
dan sumber daya manusia yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam pengembangan potensi dan pencerdasan
diri.
2. Perempuan sebagai sumber
insani bagi pembangunan mempunya hak, kewajiban dan kesempatan yang sama
dengan pria untuk menggerakkan pembangunan melalui partisipasinya sebagai pelaku
dalam segala bidang kehidupan bangsa dan dalam segenap kegiatan pembangunan.
Dalam perkembangan dari masyarakat agraris ke masyarakatr industri
pengintegrasian perempuan dalam pembangunan dilakukan melalui antara lain
partisipasi mereka sebagai pelaku dalam alur utama pembangunan nasional.
3. Perempuan sebagai warga
negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk
memantapkan kehidupan bangsa dan negara serta kehidupan beragama.
4. Perempuan sebagai warga
dunia juga mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki
guna turut serta menciptakan dan membina kedamaian dunia yang abadi serta
kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera.
5. Perempuan sebagai istri
mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan suaminya guna
menciptakan dan membina warga sehat, sejahtera, dan bahagia serta ketentuan
keluarga sebagai unit sosial terkecil, dimana suami dan istri saling
menghargai, menghormati, mengisi, dan membantu dalam mengembangkan potensi,
bakat, dan profesi masing-masing serta saling mencintai dan mengasihi.
6. Perempuan sebagai ibu
pendidik pertama dan utama dari anak-anaknya, dan suaminya sebagai bapak dari
anak-anak mereka mempunyai tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembangnya
anak-anak mereka secara optimal dalam rangka pembangunan manusia Indoneia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat indonesia.
7. Perempuan sebagai ibu
rumah tangga atau kepala rumah tangga bersama-sama dengan suaminya (UU
Perkawinan) bertanggung jawab atas terpenuhinya segala keperluan rumah tangga,
baik berupa jasa maupun barang serta kebutuhan mental spiritual.
8. Perempuan sebagai ibu
bangsa dan umat manusia yang mengemban kodrat atau kepercayaan diri dari Tuhan
Yang Maha Esa untuk memikul sebagian terbesar dari fungsi reproduksi dan
pembinaan sumberdaya manusia.
PENUTUP
Berangkat dari paparan di atas
dapat diketahui dan dipahami bahwa adanya asumsi-asumsi atau ketetapan yang
selama ini dianggap benar dengan mengatasnamakan ajaran agama tentang
eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial, ternyata “kurang benar”.
Akhirnya
kajian-kajian lain yang sepadan dengan kasus di atas pada kelanjutannya akan
banyak muncul dan lahir disekeliling kehidupan manusia, disitulah peran agama
dipertaruhkan. Benarkah Islam sebagai agama “Rahmatan Li al-Alamin”, sehingga kita akan menemukan jati diri
Islam sebagai agama yang paripurna.
Catatan Kaki
1.
Ayat Al-Qur;’an yang populer
dijadiakn rujukan dalam pembicaraan tentang asal mula kejadian perempuan adalah
firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4):1; "wahai manusia bertakwalah kepada tuhanmu
yang telah menciptakn mu dari nafs yang satu (sama) dan dari padanya Allah
menciptakan pasangan yang banyak.............. banyak pakar tafsir yang
memahami "nafs dengan arti
"Adam", dan pasangannya, yaitu isteri beliau "Hawa".
Pendapat ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan
mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, tanpa laki-laki
perempaun tidak akan ada. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpendapat
bahwa perempaun (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab terdahulu
hampir sepakat mengartiakn demikian. Pandangan ini agaknya bersumber pada
sebuah hadits yang menyatakan "Saling pesan memesanlah untuk
berbuatbaik kepada perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok" (HR. Buhari, Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah). Hadits di
atas dipakai para ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit juga
ulama kontemporer yang memahami secara metafor. Majazi, bahkan ada yang menolak
kesahihan hadits tersebut dengan mengatakn bahwa ia bersumber dari kitab
perjanjian lama. Dalam kitab kejadian
2:21-24 disebutkan bahwa; "lalu
tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak: ketika ia tidur, Tuhan allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutub tempat tersebut dengan
daging. Dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah
seorang perempuan, lalu dibawanya kepada manusia itu". Dalam
menanggapi masalah ini –Muhammad Rasyid Ridla—dalam tafsir al-Manar mengatakan
bahwa "seandainya tidak tercantum
kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab
perjanjian lam, niscaya pendapat yang keliru (mendiskedirkan perempuan) tidak
pernah terlintas dalam benak seorang muslim". (lih. Tafsir al-Manar,
juz IV, Kairo, Dar al-manar, 1367 H, h, 330). Bagi ulama yang memahami secara
metafor, majazi berpendapat bahwa hadits diatas memberikan perhatian kepada
kaum laki-laki agar dalam menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada
sifat, karakter dan kecenderuangan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. Hal
ini bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap
tidak wajar, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan
perempuan (kodratnay), kalaupun dipaksakan akibatnya akan fatal, sebagaimana
fatalnya meluruskan tulang rusuk yang berngkok. Dengan pemahaman demikian, justeru
menghantarkan adanya kata untuk mengakui kepribadian perempuan yang telah
menjadi kodratnya (bawaannya sejak lahir). Lihat Lily Zkiyah Munir, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan
dalam Perpektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), 81
2. Lih. Syamsul Arifin, Spiritualisasi
Islam Dan Peradaban masa Depan (Yogyakarta, SIPRESS, 1996), 200.
3. Dimulai
dengan masyarakat Yunani yang dianggap sebagai barometer peradaban sejarah
manusia yang terkenal dengan pemikiran dunia filsafatnya, dalam pandangan
masyarakat Yunani dikalangan elit sosok perempuan ditempatkan di dalam istana,
sementara dalam kalangan bawah mereka diperjual belikan, sedang mereka yang
telah berkeluarga sepenuhnya berada dibawah kekuasaan suami. Pada gilirannya,
dalam peradaban Yunani, perempuan diberi kebebasan sedemikian rupa untuk
memnuhi kebutuhan dan selera kaum lelaki. Kalau kita sekarang melihat di yunani
banyak pemandangan-pemandangan berupa patung wanita telanjang yang dapat
ditemui di sepanjang tempat adalah bukti sisa-sisa pandangan diatas. Peradaban
Romawi menempatkan sepenuhnya perempuan dibawah kekuasaan ayah, baru setelah
kawin, maka kekuasaan berpindah kepada suami, tapi pada dasarnya kekuasaan itu
sama, yaitu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh,
keadaan tersebut berlangsung sampai abad ke empat masehi sehingga hasil usaha
perempuan menjadi hak milik keluasrganya yang laki-laki. Peradaban India dan
Cina tidak juga lebih baik dari ayng lainnya. Hak hidup bagi seorang perempuan
yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Wanita harus dibakar
hidup-hidup tatkala mayat suaminya dibakar. Hal ini baru berakhir pada
abad tujuh belas masehi. Dalam ajaran
Yahudi martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan
sebagai sumber segala laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari
surga. Dalam ajaran Nasrani ditemikan bahwa perempuan adalah senjata iblis
untuk menyesatkan manusia. Munir, memposisikan....., 78.
4. Lih.
Fatimah Mernissi, Women And Islam (London, Basil Blackwell, 1991), 49
dan 62
5. Lih.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung, Mizan, 1992), 271.
6. Lih. Al-Qur’an,
Surat al-Nisa’: 1.
7. Hadits
inidikutib dari Ashgar Ali Engineer dalam The Rights of Women Islam
(yogyakarta, LSPPA, 1994), 207.
8. Ibid., 206.
9. Lih.
Didin Syafruddin, “Argumentasi atas Perempuan: Penafsiran Klasik QS. Al-Nisa’;
34 dalam Ulumul Qur’an, Vol. V No. 5 1994, 5.
10. Lih.
Ali Ash-Shabuny, Rawai’ Al-Bayan (Damaskus: maktabah al-ghazali, 1977),
Juz I, 66. juga Lih. Syamsul Anwar , “Masalah Wanita menjadi pemimpin dalam
Perspektif Fiqh Siyasah,” dalam
al-jami’ah No. 56, 1995, 389.
11. Lih.
Armahedi Mahzar, Wanita dan Islam dalam pengantar buku “Mashar al-Haq”
Wanita Islam Korban patologi sosial (Bandung, Pustaka, 1995), xii.
12. Lih.
Robert Bellah, Beyond Bilief (Los Angels University of California Press,
1988), 18.
13. Lih.
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1997), 65
14. Lih.
Aminah Wadud Muchsin, Wanita Dalam Al-Qur’an (Bnadung, Pustaka, 1994),
1.
15. Ibid., 3.
16. Lih.
Abdullah, Sangkaan Paran....., 66.
17. Lih.
Wardah hafidz, “Feminisme: Agenda Baru Pemikiran Islam,” dalam Ulumul
Qur’an, Vol. VI No. 3, 1995, 109
18. Lih.
Muhammad Arkoun, “Wawancara Tentang Metode Kritik Akal Islam,” dalam Ulumul
Qur’an, Vol, V, No. 5 dan 6, 1994, 157.
19. Lih.
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz II (Mesir: Al-halabi
waAuladuhu, 1963), 313.
20. Lih.
Al-Haitami, Tafsir Al-Haitami, juz II (Mesir: (?) 1958), 34, dalamAndi
Rasdinayah Amin, Pesantren, Vol, IV, 1989, h, 22.
21. Lih.
Abadullah Ahmed Al-Naim, Toward an Islamic Reformation (Yogyakarta,
LKIS, 1994), 336.
22. Lih.
Dadang S. Anshori dkk, Membincangkan Fenisme (Bandung, Pustaka Hidayah,
1997), 6.
23. Lih. Al-Qur’an
Surat Al-Hujurat: 13.
24. Lih. Al-Qur’an
surat Al-baqarah: 286.
25. Munir, memposisikan......,
19.
26. Lih.
Muhammad Syaltut, dalam Munir, memposisikan...., 80.
27. Lih.
Shihab, Membumikan....., 270.
28. Lih.
Muhammad Al-Razi, Tafsir Al-Razi, Juz III (bairut: Dar Al-Fikr, 1985),
2.
29. Lih.
Musthafa al-Siba’i, Al-mar’ah baina Al-Fiqh wa Al-Qanun (Damaskus:
Maktabah Al-Arabiyah Thaba’ah Tsanaiyah, 1956), 25-30. Lihat juga Anwar
Hardjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam (Jakarta, Gema Insani
Press, 1995), 102.
30. Lih. Al-Qur’an
Surat Ali Imron: 195.
31. Lih. Dadang
S. Anshori dkk, Membincangkan Fenisme (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997),
145
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Hardjono, 1995,
Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta, Gema Insani Press.
Ali Ash-Shabuny, 1977, Rawai’
Al-Bayan, Juz I, Damaskus, Maktabah al-Ghazali, Juz I.
Ahmad Musthafa al-Maraghi,
1963, Tafsir al-Maraghi, Mesir, Al-halabi wa Auladuhu.
Aminah Wadud Muchsin, 1994, Wanita
Dalam Al-Qur’an, Bandung, Pustaka.
Abadullah Ahmed Al-Naim,
1994, Toward an Islamic Reformation (terjemahan), Yogyakarta, LKIS.
Armahedi Mahzar, 1995, Wanita
dan Islam dalam pengantar buku “Mashar al-Haq” Wanita Islam Korban patologi
sosial, Bandung, Pustaka.
Dadang S. Anshori, 1997, Membincangkan
Feminisme, Bandung, Pustaka Hidayah.
Departemen Agama Republik
Indonesia, 1974, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Didin Syafruddin,
“Argumentasi atas Perempuan: Penafsiran Klasik QS. Al-Nisa’; 34 dalam Ulumul
Qur’an, Vol. V No. 5 1994, 5.
Fatimah Mernissi, 1991, Women
And Islam, London, Basil Blackwell.
Haitami, Tafsir
Al-Haitami, juz II, Mesir: 1958, h.34, dalam Andi Rasdinayah Amin,
Pesantren, Vol, IV, 1989, h, 22.
Irwan Abdullah, 1997, Sangkan
Paran Gender Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Lily Zakiyah Munir, 1999, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan
dalam Perpektif Islam, Bandung,
Mizan.
Muhammad Rasyid Ridlo, 1367,
Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo-Mesir, Dar al-Manar.
Muhammad Arkoun, “Wawancara
Tentang Metode Kritik Akal Islam,” dalam Ulumul Qur’an, Vol, V, No. 5 dan
6, 1994, 157.
Muhammad Al-Razi, 1985, Tafsir
Al-Razi, Juz III Bairut, Lebanon,
Dar Al-Fikr.
Musthafa al-Siba’i, 1956, Al-mar’ah
baina Al-Fiqh wa Al-Qanun Damaskus, Maktabah Al-Arabiyah Thaba’ah
Tsanaiyah.
Quraish Shihab, 1992, Membumikan
Al-Qur’an: fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyaraka, Bandung,
Mizan.
Robert Bellah, Beyond
Bilief, terjemah; Rudi Harisyah Alam, Jakarta, Paramadina.
Syamsul Arifin, 1996, Spiritualisasi
Islam Dan Peradaban masa Depan, Yogyakarta, SIPRESS.
Wardah hafidz, “Feminisme:
Agenda Baru Pemikiran Islam” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3, 1995,
h.109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar