Selasa, 02 September 2014

ekonomi syariah



EKONOMI SYARI'AH DAN PROSPEKNYA :
Menjawab Tantangan Keadilan Sosial dan Kapitalisme Global

Muhammad Yazid

Abstrak : Dalam pandangan Islam, uang hanya sebagai alat transaksi ekonomi, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya merupakan alat untuk mencapai pertambahan nilai. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana uang "mengembangbiakkan" uang, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, atau tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu usaha atau seluruh kegiatan usaha tersebut. Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian. Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global. Kedepan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistem hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut. Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita  dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.

Kata Kunci : Ekonomi syari'ah, akad, riba, bunga, sektor riel





A. Pendahuluan                       
Krisis ekonomi Indonesia sampai saat ini masih berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk segera pulih. APBN kita masih dikuras dalam jumlah besar untuk pengeluaran membayar bunga hutang baik hutang luar negeri maupun bunga hutang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi rekap bank konvensional. Seharusnya dana APBN ratusan triliun digunakan untuk pemberdayaan rakyat miskin, tetapi justru untuk mensubsidi bank-bank ribawi melalui bunga rekap BLBI dan SBI. Ini terjadi karena pemerintah telah terperangkap kepada sistem riba yang merusak perekonomian bangsa. Menaiknya harga BBM semakin memperparah penderitaan  rakyat Indonesia dan semakin membengkakkan angka kemiskinan. Inflasi meningkat secara tajam. Semua para ekonom hebat di negeri ini meprediski inflasi hanya 8,7 %, tetapi kenyataannya melejit di luar dugaan, lebih dari 18 %. Ekonom hebat tersebut keliru besar dalam memprediksi.  Angka inflasi 18 % merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.[1] Sebagai indikator penting bagi perekonomian negara, maka inflasi wajib dipandang secara kritis. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi bermakna gong marabahaya bagi ekonomi rakyat.
Pada saat ini, tercatat jika sejak Maret 2005, jumlah utang Indonesia mencapai Rp1,282 triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara dengan 52 % dari produk domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49% persen utang luar negeri. Sementara 51 persen utang dalam negeri.
Selain problem hutang Indonesia yang amat besar, ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan pembangunan juga menjadi problem besar. Demikian pula buruknya infrastruktur, rendahnya investasi dan pertumbuhan  ekonomi, terpuruknya sektor riel, menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya angka pengangguran akibat kenaikan BBM yang lalu..
APBN kita masih berada pada titik yang kritis, sebab faktor eksternal seperti naiknya  harga minyak, bisa membuat  beban APBN membengkak dan memperbesar defisit APBN. akibat ikut membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah yang terkait dengan  luar negeri. Belum lagi ancaman depresiasi nilai rupiah yang selalu membayang-bayangi. Keterpurukan ekonomi Indoiensia juga ditandai oleh masih belum bergairahnya sektor riil.  
 Kesimpulannya, ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk dan terburuk di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Indonesia hanya  unggul atas negara-negara Afrika seperti Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe, Mali, Angola dan Chad. Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index) Indonesia, nyaris sama dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang serta wabah kelaparan.[2]
Selama ini,  sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan. Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, BAPENAS, DPR dan Menteri yang terkait lainnya.[3]
Gubernur Bank Indonesia Boediono --sekarang wapres-- dalam pelantikan pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Jakarta, memastikan institusinya bakal terus mendorong perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Menurut Boediono, saat ini ekonomi syariah semakin dilirik dunia karena masyarakat global kecewa terhadap sistem perekonomian yang berlaku sekarang karena telah menciptakan krisis ekonomi.
Dukungan ini tidak hanya di luar lembaga BI, namun juga dalam organisasi pengembangan ekonomi syariah, diantaranya dengan menempatkan dua deputi gubernur BI yang menangani Masyarakat Ekonomi Syariah. Dua deputi gubernur BI itu adalah Muliaman D Hadad sebagai Ketua Umum dan Siti Chalimah Fadjriah sebagai Wakil Dewan Penasehat. Muliaman sendiri bertekad untuk terus berjuang mengembangkan perekonomian syariah karena yakin sistem perekonomian ini akan menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia. "Ekonomi syariah ini tidak hanya merupakan satu landasan ekonomi yang bisa mencegah krisis ekonomi seperti kita alami sekarang, namun juga harus ditawarkan sebagai sebuah solusi untuk mengatasi krisis," terangnya.[4]
Dengan kondisi politik ekonomi yang kian jelas komitmen pemerintah terhadap keberadaan ekonomi syari'ah, maka akan berakibat pada pertumbuhan ekonomi yang berbasis syari'ah kian menjanjikan dan pada akhirnya akan dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap berbagai kasus krisis ekonomi yang tengah melanda dunia global.

B. Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional
Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of rationality, pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas ini memiliki dampak pada tergusurnya nilai-nilai etika dan moral yang bersifat teologis.[5] Dominasi filosofi positifisme yang demikian kuat telah melintasi batas negara sehingga ditemukan hukum universal dalam ilmu ekonomi.
Penerapan hukum universal dalam ekonomi memiliki potensi yang sangat kuat tidak hanya memberangus nilai-nilai lokal yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga melahirkan konsekuensi yang sangat luas seperti peradaban pragmatis, konsumtif, hedonis yang merusak sendi-sendi kemanusiaan, dan modernisasi kemiskinan atau kemiskinan terencana.[6] Pada sisi lain, universalitas ekonomi yang diusung oleh kapitalisme memunculkan ketergantungan yang berlebihan pada apa yang disebut profit oriented atau capital oriented sehinga nilai-nilai lain yang bersifai inmaterial menjadi statu yang mustahil. Karena dijiwai oleh spirit capital oriented yang berlebihan, maka kapitalisme lebih banyak berpihak pada sedikit kelompok elite yang mampu mengaksesnya sehingga dalam konteks ini terjadilah kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara aghniya' dan fuqara'. 
Memandang ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu yang otonom dan independen, tidak memiliki relasi dengan nilai-nilai yang melingkupinya merupakan sebuag kekeliruan besar dan wujud dari rasa tidak bertanggung jawab terhadap masa depan kemanusiaan. Ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang melingkupinya. Ekonomi memiliki koneksi dan berdialektika dengan nilai sosial, budaya dan agama masyarakat, bahkan ekonomi mentransmisikan kekuatan potensialnya, mempengaruhi, dan membentuk realitas atau lingkungan tempat di mana ekonomi dipraktekkan.
Max Weber sendiri telah membuktikan bahwa masyarakat Kristen, terutama sekte Calvinis memiliki dorongan etika atau moralitas agama yang kuat sehingga membentuk kapitalisme modern awal. Hal ini sekaligus sebagai counter atas pandangan yang meyakini bahwa ekonomi kapitalisme modern sebagai ekonomi bebas nilai tidak dapat diterima, sebab kapitalisme sendiri dalam kenyataan sejarahnya justeru lahir dari semangat agama.[7]
Dengan demikian, pemahaman dan pemikiran memiliki peran yang kuat dalam membentuk dan mengubah cara pandang individu dalam statu masyarakat. Karena itu melepaskan diri dari cara pandang global knowledge harus diawali dari upaya seksama untuk mengubah paradigma pemikiran keilmuan yang telah menghegemoni selama ini, yaitu ekonomi positifistik dan itu adalah ekonomi konvensional. Dalam realitas yang begitu kompleks, paradigma ekonomi positivistik tidak mampu menempatkan dirinya untuk peradaban manusia yang lebih baik dan lebih humanis.[8] Oleh karena itu perlu kiranya kita memunculkan kesadaran konstruksi paradigma ekonomi yang menyelamatkan harkat dan martabat manusia, paradigma yang mengabadikan survivalitas kearifan dan kebijakan local, paradigma ekonomi yang dapat mengembangkan pendekatan yang lebih memperhatikan moralitas kemanusiaan dan mampu merekonstruksi bangunan keilmuan yang holistik yang bersumber dari wahyu atau syari'ah (agama).[9]
Dalam konteks hukum Islam, syari'ah bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syari'ah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (Ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadan diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya.[10] Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main dalam kehidupan sosial.
Salah satu paradigma ekonomi yang memperoleh apresiasi secara luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini adalah paradigma Islam. Paradigma ini muncul sebagai instrumen untuk menerobos sains positivistik. Jika positivisme hanya mengenal realitas materi, maka paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas lain yang melampaui materialisme, yaitu realitas spiritual.[11]
Paradigma Islam selalu mengedepankan nilai-nilai humanis dan transendental sebagai substansi dari nilai ajaran tauhid dan keadilan yang merupakan aksioma etika ekonomi Islam yang sangat tepat dialamatkan pada masyarakat kapitalis moderen yang kehilangan arah dalam menemukan makna hidup akibat telah sekian lama diperbudak oleh materialisme dan kapitalisme.
Budaya kapitalis dan praktek bisnis moderen sekarang tengah berada dalam krisis bak monster yang memangsa dirinya sendiri lantaran etos dan asumsi-asumsi yang mendasarinya tidak berkelanjutan dan tidak punya masa epan jangka panjang. Oleh karena itu eksistensi spiritual capital sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan aset terpendam dalam diri setiap individu pelaku bisnis. Spiritual mengandung dimensi moral yang sangat dibutuhkan dalam kondisi bisnis yang carut marut dewasa ini.

C. Ekonomi  Syari'ah Sebagai Solusi    
Firman Allah dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Islam sebagai al-din mengandung ajaran yang Sangat komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi). Bahkan al-Qur'an memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.[12]
Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,  1.Tijarah, 2. Bay’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. Dinar, 8. Dirham, 9. Qismah 10. Mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13. Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15. Fadhlillah 17. Akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. Waraq (mata uang).[13]
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits beliau juga  menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah Hadist dijelaskan “Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu  rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad) ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi)[14]
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hiwalah, kafalah, jualah, ba’i salam, istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Dalam pandangan Islam, uang hanya sebagai alat transaksi ekonomi, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya merupakan alat untuk mencapai pertambahan nilai. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana uang "mengembangbiakkan" uang, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, atau tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu nusaha atau seluruh kegiatan usa tersebut.[15]
 Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian. Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global.
Kedepan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistem hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut. 
Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita  dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.[16]
Proses berlangsung sistem ekonomi kapitalis yang tengah berjalan selama ini --dalam dunia perbankan atau yang sejenis-- dan justeru yang dipilih dan dijadikan sebagai instrumen perkembangan ekonomi dapat digambarkan dalam alur  contoh berikut ini :




Selama ini,  sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan. Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten.[17]
Keberhasilan Malaysia mengembangkan ekonomi Islam secara signifikan dan menjadi teladan dunia internasional, adalah disebabkan  karena kebijakan yang secara serius mengembangkan ekonomi Islam. Mereka tampil sebagai pelopor kebangkitan ekonomi Islam, dengan kebijakan yang sungguh-sungguh membangun kekuatan ekonomi berdasarkan prinsip syari’ah. Indonesia yang jauh lebih dulu merdeka dan menentukan nasibnya sendiri, kini tertinggal jauh dari Malaysia.
Kebijakan-kebijakan dengan sistem syari’ah,  telah mampu mengangkat  ekonomi Malaysia setara dengan Singapura. Tanpa kebijakan mereka,  tentu tidak mungkin ekonomi Islam terangkat seperti sekarang, tanpa kebijakan mereka tidak mungkin terjadi perubahan pendapatan masyarakat Islam secara signifikan. Mereka bukan saja berhasil membangun perbankan, asuransi,  pasar modal,  tabungan haji dan lembaga keuagan lainnya secara sistem syari’ah, tetapi juga telah mampu  membangun peradaban ekonomi baik mikro maupun makro dengan didasari prinsip nilai-nilai Islami.
Aplikasi ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan ummat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif.[18]

D. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syari'ah
            Perkembangan teori ekonomi syari'ah di mulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Quran, seperti : QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tentang jual beli riba ; QS. Al Baqarah ayat 282 tentang pembukaan transaksi ;QS. Al-Maidah ayat 1 tentag akad ; QS. Al-A'raf ayat 31, An-Nisa ayat 5 dan 10 tentang pengaturan percarian, penitipan dan pembelanjaan harta. Ayat-ayat ini menurut At-Tariqi menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak persyariatan Islam (masa Rasulullah saw) dan di lainjutkan secara metodis oleh para peneurusnya (Al-khulafa ar-Rasyidin) pada masa ini bentuk permasalahan perekonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil 'alamin.[19]
            Perkambangan pemikairan ekonomi syari'ah dari sejak masa nabi sampaii sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan. Tahap pertama (632-656 M), masa Rasulullah saw. Tahap kedua (656-661M), pemikiran ekonomi syari'ahdi masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Tahap ketiga atau periode awal (738-1037 M), pemikiran ekonomi syari'ah, periode ini di awali Zayd bin ali (738 M), Abu hanifa (787 M),Auzai (774 M), Malik (798 M), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (804 M),Yahya bin Dam (818 M), Syafi'i (820 M), Abu Ubaid (838 M), Ahmad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), -farabi (950 M), Abu Jafar al-Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M).
            Tahap keempat atau periode kedua (1058-1448 M). Pemikir eknomi syari'ah periode ini Al-Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al-Sarakhsi (1090 M), at-Tusi (1093 M), Ibnu Mas'ud Al-Kasani (1182 M), Al-Saizari (1993 M), Fakhrudin Al-Razi (1210 M), Najmudin Al-Razi (1256 M),I bnu al-Ukhuwa (1329 M), Ibnu al-Qoyyim (1350M), Muhammad bin Abdul Rahman Al-Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al-Syatibi (1388 M), Al-Maqrizi (1441 M), Ibnu Arabi (1240 M), Jalaludin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnu Tufail (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
            Tahap kelima atau periode ketiga (1446-1931 M). Shah Waliyullah Al-Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al-Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhaammad Iqbal (1938 M).
            Tahap keenam atau periode lanjut (1931 M-sekarang). Muhamad Abdul Mannan (1938 M),Muhammad Nejatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935 M), Monzer Khaf, Sayyid Mahmud taleghani, Muhammad Baqir as-Sadr, Umer Chapra.[20]
            Hasil pemikiran ekonomi  syari'ah dari beberapa peimikir di atas sebagai berikut:
  1. Rasulullah saw telah melakukan praktek titipan, meminjamkan, pengiriman uang.
  2. Umar bin Khattob, menggunakan instruyen cek untu membayar tunjangan kepada mereka yang berhak.
  3. Ali bin Abi Thalib, melakukan praktek wadi'ah dalam menerima barang orang lain.
  4. Zubair bin Awwam, melakukan proses peminjaman
  5. Ibnu Abbas, melakukan praktek pengiriman uang ke Kufah
  6. Abdullah bin Zubair melakukan praktek pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya, Mis'ab bin Zubair di Irak[21]
  7. Khalifah Muawiyah (661-680 M), telah dikenal sarraf dan jihbiz (praktek penukaran mata uang)
  8. Zaid bin Ali (699-738M), adalah penggagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai
  9. Abu Hanifah (699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai Imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay' al-salam al murabahah.[22]
  10. Al-Auzai (707-774 M), nama lengkapnya Abdurrahman al-Auzai yang berasal dari Bairut, Lebanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah penggagas orisinal dalam ilmu ekonomi syari'ah. Gagasan-gagasannya antara lain kebolehan dan kesahihan sistem muzara'ah sebagai bagian dari bentuk murabahan dan membolehkan peminjaman modal baik dalam bentuk tunai maupun sejenis.
  11. Imam Malik bin Anas (712-796 M). Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwathtah', dan imam madzhab hukum. Namun ia pun memeliki pemikiran orisinal dibidang ekonomi, seperti ia menganggap seorang raja atau penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istishlah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkannya mengandung analisis nilai kegunaaan atau teori utiliti dalam filsafat Barat.
  12. Abu Yusuf (731-798 M). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatannya (al-qadli). Abu Yusuf dan dikenal perhatiannya atas keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Iapun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan yakni kitab al-Harj. Karya ini berbeda dengan karya Abu Ubaid yang datang kemudian. Kitab ini, sebagimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan penguasa pada zamannya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpah rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar Jibayat al-Haraj, al-Shadaqat, al-Jizyah. Tulian Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu Ekonomi adalah  bagian tak terpisahkan dari menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat pada pemerintah untuk mensejahterahkan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggung jawab penguasa untuk mensejahterahkan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil oleh para ahli ekonomi. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada  pada pandangannya yang menentang pengendalian harga atau tas'ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.[23]
  13. Al-Farabi (870-950 M). Mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu : Madinatun Nawabit, Madinatul bahimiyah, Madinatun Nadzalah, madinatul Jama'iyah.[24]
  14. Khalifah Abbasyiyah, Khalifah Muqtadir (908-932 M), telah berkembang macam cek (saq) dan pekerjaan sebagai bankir
  15. Ibnu Sina (980-1037 M). Ia mengemukakan pendaptnya antara lain : (a) manusia adalah mahluk bereknomi; (b) ekonomi membutuhkan negara; (c) perkembangan ekonomi melalui perkembagan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; (d) ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kesetabilan ekonomi harus dijaga; (e) prinsip yang lain adalah harta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; (f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah; (g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; (h) pengeluaran wajib atau nafkah yang sifatnya konsumtif harus di keluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus di cukupkan  dengan hati yang ikhlas; (i) setiap orang harus mempunya rencana simpanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.
  16. Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111M) tokoh yang lebih di kenal sebagai sufi atau dan filosof serta pengkeritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa; (a) perkembangan ekonomi bertolak dari hakikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembangunan. Ketiga unsur ini interdependen; (b) perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi; (c) uang bukan komuditi, melainkan alat tukar; (d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia; (e) perlu adanya pemerintah; (f) mata uang negara islam; (g) perlunya institusi semacam perbankan; (h) hati-hati terhadap riba; (i) dua jalur transakai perbankan, pribadi dan negara.
  17. Al-Mawardi (450 H). Penulis al-Ahkam al-Sultaniyyah, adalah pakar dari  syafi'iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan agama dan dunia atau urusan spiritual dan temporal (li hirsi al-din wa al-umur al-dunyawiyyah). jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang di bebankan diatas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterahkan rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomimi, politik dan hak-hak individual secara berimbang dengan hak Allah. Tentu saja termasuk didalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, ditribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilm ekonomi.
  18. Ibnu Taymiyah (1262-1328 M). Dalam kitabnya, al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlahi al-Raiy wal Ra'iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar, pengawasan pasar, hingga akuntansi yang erat kaitannya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian,  nampaknya Ibnu Taymiyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syari'ah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.[25]
  19. Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Cendikiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatiannya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya al-Muqddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahsanya secara parsial. Ia mendefinisikan ilmu ekoomi jauh lebih luas daripada devinisi al-Tusi. Ia dapat melihat secara jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk pada ketentuan akal dan etika telah mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif sekaligus positif. Termminologi jumhur yang berarti masa yang digunakannya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan individu. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni ; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan lain sebagainya.[26]












DAFTAR PUSTAKA



Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Eonomi Islam : Prinsip, Dasar, dan Tujuan, (Yogjakarta, Magistra Insani Press)

Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut : Dar al-Fikr)

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995)

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003)

-----------------------, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Yakarta : Raja Grafindo Persada, 2006)

Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah, (Yogjakarta : LKIs, 2000)

Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam : Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah, (Yogjakarta : Pilar Media, 2006)

Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008)

Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005)

Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah, (Kairo : Dar al-Fikr al-Araby)

Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, (Yogjakarta : PT Bhakti Wakaf)

Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, (Bairut, Dar al-Fikr,  tp, tt, )

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003)

M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)

Mustafa Edwin Nasution et al., Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)

Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007)

Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan Berekonomi Syari'ah, (Yogjakarta :  Safiria Insania Press, 2008)

Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001)


















[5] Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri sendiri terpisah dari ekonomi, tidak memiliki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya betul-betul menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai.
[6] Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[7] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007), 109
[8] M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), xxv
[9] Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[10] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 4
[11] Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah, (Yogjakarta : LKIs, 2000), 5

[13] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhkti Wakaf, 1995), 19 
[14] Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, (Bairut, Dar al-Fikr,  tp, tt, ), 86
[15] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 11
[17] Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam : Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah, (Yogjakarta : Pilar Media, 2006), xi
[18] Ibid, xviii
[19] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Eonomi Islam : Prinsip, Dasar, dan Tujuan, (Yogjakarta, Magistra Insani Press), 26
[20] Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan Berekonomi Syari'ah, (Yogjakarta, Safiria Insania Press, 2008), 5
[21] Adiwarman A. Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Yakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), 19
[22] Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah, (Kairo : Dar al-Fikr al-Araby), 404-410
[23] Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, (Yogjakarta : PT Bhakti Wakaf), 24
[24] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 242
[25] Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut : Dar al-Fikr)
[26] Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan Berekonomi Syari'ah, (Yogjakarta, Safiria Insania Press, 2008), 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar