EKONOMI SYARI'AH DAN PROSPEKNYA :
Menjawab Tantangan Keadilan Sosial dan
Kapitalisme Global
Muhammad Yazid
Abstrak : Dalam pandangan Islam, uang hanya sebagai
alat transaksi ekonomi, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya merupakan
alat untuk mencapai pertambahan nilai. Hal ini bertentangan dengan perbankan
berbasis bunga dimana uang "mengembangbiakkan" uang, tidak peduli
apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan
keuntungan uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara
langsung melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan
lain-lain, atau tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan
salah satu usaha atau seluruh kegiatan usaha tersebut. Salah satu solusi penting
yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia
adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat
pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi,
penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan
stabilitas perekonomian. Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan,
mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding
sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global.
Kedepan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi
Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga
perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia
menggunakan sistem hasil sehingga tidak mengalami negative spread
sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang
di masa-masa yang sangat sulit tersebut. Sementara bank-bank raksasa mengalami
keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional
lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun.
Setiap tahun APBN kita dikuras lagi oleh
keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan
untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu
bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem
ekonomi kapitalisme yang ribawi.
Kata Kunci : Ekonomi syari'ah, akad, riba, bunga, sektor
riel
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi Indonesia sampai saat ini masih
berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk segera pulih. APBN kita masih
dikuras dalam jumlah besar untuk pengeluaran membayar bunga hutang baik hutang
luar negeri maupun bunga hutang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi rekap
bank konvensional. Seharusnya dana APBN ratusan triliun digunakan untuk
pemberdayaan rakyat miskin, tetapi justru untuk mensubsidi bank-bank ribawi
melalui bunga rekap BLBI dan SBI. Ini terjadi karena pemerintah telah
terperangkap kepada sistem riba yang merusak perekonomian bangsa. Menaiknya
harga BBM semakin memperparah penderitaan
rakyat Indonesia dan semakin membengkakkan angka kemiskinan. Inflasi
meningkat secara tajam. Semua para ekonom hebat di negeri ini meprediski
inflasi hanya 8,7 %, tetapi kenyataannya melejit di luar dugaan, lebih dari 18
%. Ekonom hebat tersebut keliru besar dalam memprediksi. Angka inflasi 18 % merupakan yang tertinggi
dalam empat tahun terakhir.[1] Sebagai indikator penting bagi
perekonomian negara, maka inflasi wajib dipandang secara kritis. Sebab, inflasi
yang melonjak tinggi bermakna gong marabahaya bagi ekonomi rakyat.
Pada saat ini, tercatat jika sejak Maret 2005,
jumlah utang Indonesia mencapai Rp1,282 triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara
dengan 52 % dari produk domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49% persen
utang luar negeri. Sementara 51 persen utang dalam negeri.
Selain problem hutang Indonesia yang amat besar,
ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan pembangunan juga menjadi
problem besar. Demikian pula buruknya infrastruktur, rendahnya investasi dan
pertumbuhan ekonomi, terpuruknya sektor
riel, menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya angka pengangguran
akibat kenaikan BBM yang lalu..
APBN kita masih berada pada titik yang kritis,
sebab faktor eksternal seperti naiknya
harga minyak, bisa membuat beban
APBN membengkak dan memperbesar defisit APBN. akibat ikut membengkaknya subsidi
bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah yang terkait dengan luar negeri. Belum lagi ancaman depresiasi
nilai rupiah yang selalu membayang-bayangi. Keterpurukan ekonomi Indoiensia
juga ditandai oleh masih belum bergairahnya sektor riil.
Kesimpulannya, ekonomi Indonesia benar-benar
terpuruk dan terburuk di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Indonesia hanya unggul atas negara-negara Afrika seperti
Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe, Mali, Angola dan Chad.
Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index)
Indonesia, nyaris sama dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang
serta wabah kelaparan.[2]
Selama ini,
sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang
memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian
pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan. Ekonomi
Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja,
tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena
kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang
berkompeten, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri,
BAPENAS, DPR dan Menteri yang terkait lainnya.[3]
Gubernur Bank Indonesia Boediono --sekarang
wapres-- dalam pelantikan pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Jakarta,
memastikan institusinya bakal terus mendorong perkembangan ekonomi syariah di
Indonesia. Menurut Boediono, saat ini ekonomi syariah semakin dilirik dunia
karena masyarakat global kecewa terhadap sistem perekonomian yang berlaku
sekarang karena telah menciptakan krisis ekonomi.
Dukungan ini tidak hanya di luar lembaga BI, namun
juga dalam organisasi pengembangan ekonomi syariah, diantaranya dengan
menempatkan dua deputi gubernur BI yang menangani Masyarakat Ekonomi Syariah. Dua
deputi gubernur BI itu adalah Muliaman D Hadad sebagai Ketua Umum dan Siti
Chalimah Fadjriah sebagai Wakil Dewan Penasehat. Muliaman sendiri bertekad
untuk terus berjuang mengembangkan perekonomian syariah karena yakin sistem
perekonomian ini akan menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia. "Ekonomi
syariah ini tidak hanya merupakan satu landasan ekonomi yang bisa mencegah
krisis ekonomi seperti kita alami sekarang, namun juga harus ditawarkan sebagai
sebuah solusi untuk mengatasi krisis," terangnya.[4]
Dengan kondisi politik ekonomi yang kian jelas
komitmen pemerintah terhadap keberadaan ekonomi syari'ah, maka akan berakibat
pada pertumbuhan ekonomi yang berbasis syari'ah kian menjanjikan dan pada
akhirnya akan dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap berbagai
kasus krisis ekonomi yang tengah melanda dunia global.
B. Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional
Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi
positivisme yang mendewakan power of rationality, pendewaan terhadap
kekuatan rasionalitas ini memiliki dampak pada tergusurnya nilai-nilai etika
dan moral yang bersifat teologis.[5]
Dominasi filosofi positifisme yang demikian kuat telah melintasi batas negara
sehingga ditemukan hukum universal dalam ilmu ekonomi.
Penerapan hukum universal dalam ekonomi memiliki
potensi yang sangat kuat tidak hanya memberangus nilai-nilai lokal yang berlaku
dalam masyarakat, tetapi juga melahirkan konsekuensi yang sangat luas seperti
peradaban pragmatis, konsumtif, hedonis yang merusak sendi-sendi kemanusiaan,
dan modernisasi kemiskinan atau kemiskinan terencana.[6]
Pada sisi lain, universalitas ekonomi yang diusung oleh kapitalisme memunculkan
ketergantungan yang berlebihan pada apa yang disebut profit oriented
atau capital oriented sehinga nilai-nilai lain yang bersifai inmaterial
menjadi statu yang mustahil. Karena dijiwai oleh spirit capital oriented
yang berlebihan, maka kapitalisme lebih banyak berpihak pada sedikit kelompok
elite yang mampu mengaksesnya sehingga dalam konteks ini terjadilah kesenjangan
ekonomi yang sangat lebar antara aghniya' dan fuqara'.
Memandang ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu
yang otonom dan independen, tidak memiliki relasi dengan nilai-nilai yang
melingkupinya merupakan sebuag kekeliruan besar dan wujud dari rasa tidak
bertanggung jawab terhadap masa depan kemanusiaan. Ekonomi merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang melingkupinya.
Ekonomi memiliki koneksi dan berdialektika dengan nilai sosial, budaya dan
agama masyarakat, bahkan ekonomi mentransmisikan kekuatan potensialnya,
mempengaruhi, dan membentuk realitas atau lingkungan tempat di mana ekonomi
dipraktekkan.
Max Weber sendiri telah membuktikan bahwa
masyarakat Kristen, terutama sekte Calvinis memiliki dorongan etika atau
moralitas agama yang kuat sehingga membentuk kapitalisme modern awal. Hal ini
sekaligus sebagai counter atas pandangan yang meyakini bahwa ekonomi
kapitalisme modern sebagai ekonomi bebas nilai tidak dapat diterima, sebab
kapitalisme sendiri dalam kenyataan sejarahnya justeru lahir dari semangat
agama.[7]
Dengan demikian, pemahaman dan pemikiran memiliki
peran yang kuat dalam membentuk dan mengubah cara pandang individu dalam statu
masyarakat. Karena itu melepaskan diri dari cara pandang global knowledge harus
diawali dari upaya seksama untuk mengubah paradigma pemikiran keilmuan yang
telah menghegemoni selama ini, yaitu ekonomi positifistik dan itu adalah
ekonomi konvensional. Dalam realitas yang begitu kompleks, paradigma ekonomi
positivistik tidak mampu menempatkan dirinya untuk peradaban manusia yang lebih
baik dan lebih humanis.[8]
Oleh karena itu perlu kiranya kita memunculkan kesadaran konstruksi paradigma
ekonomi yang menyelamatkan harkat dan martabat manusia, paradigma yang
mengabadikan survivalitas kearifan dan kebijakan local, paradigma ekonomi yang
dapat mengembangkan pendekatan yang lebih memperhatikan moralitas kemanusiaan
dan mampu merekonstruksi bangunan keilmuan yang holistik yang bersumber dari
wahyu atau syari'ah (agama).[9]
Dalam konteks hukum Islam, syari'ah bersifat
komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syari'ah Islam merangkum
seluruh aspek kehidupan, baik ritual (Ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadan diperlukan untuk menjaga ketaatan
dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana
untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya.[10]
Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan
main dalam kehidupan sosial.
Salah satu paradigma ekonomi yang memperoleh
apresiasi secara luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini adalah paradigma
Islam. Paradigma ini muncul sebagai instrumen untuk menerobos sains
positivistik. Jika positivisme hanya mengenal realitas materi, maka paradigma
Islam mengenal realitas materi dan realitas lain yang melampaui materialisme,
yaitu realitas spiritual.[11]
Paradigma Islam selalu mengedepankan nilai-nilai
humanis dan transendental sebagai substansi dari nilai ajaran tauhid dan
keadilan yang merupakan aksioma etika ekonomi Islam yang sangat tepat
dialamatkan pada masyarakat kapitalis moderen yang kehilangan arah dalam
menemukan makna hidup akibat telah sekian lama diperbudak oleh materialisme dan
kapitalisme.
Budaya kapitalis dan praktek bisnis moderen
sekarang tengah berada dalam krisis bak monster yang memangsa dirinya
sendiri lantaran etos dan asumsi-asumsi yang mendasarinya tidak berkelanjutan
dan tidak punya masa epan jangka panjang. Oleh karena itu eksistensi spiritual
capital sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan aset terpendam
dalam diri setiap individu pelaku bisnis. Spiritual mengandung dimensi moral
yang sangat dibutuhkan dalam kondisi bisnis yang carut marut dewasa ini.
C. Ekonomi Syari'ah Sebagai
Solusi
Firman Allah dalama surah Al-Jatsiyah ayat
18 : ”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah
syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Islam sebagai al-din mengandung ajaran yang
Sangat komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah,
khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam
tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan
manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam
tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para
ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat
besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah
perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah)
atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al Baqarah,
yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi). Bahkan
al-Qur'an memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang
sebanyak 720 kali.[12]
Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara
lain, 1.Tijarah, 2. Bay’,
3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba,
7. Dinar, 8. Dirham, 9. Qismah 10. Mudharabah, 11. Syirkah,
12. Rahn, 13. Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15. Fadhlillah
17. Akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail
(takaran) dalam perdagangan, 20. Waraq (mata uang).[13]
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar
pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits beliau juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis)
sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai
perdagangan. Dalam sebuah Hadist dijelaskan “Hendaklah kamu kuasai bisnis,
karena 90 % pintu rezeki ada dalam
bisnis”. (H.R.Ahmad) ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah
usaha perdagangan (H.R.Baihaqi)[14]
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam
pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam.
Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah,
musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah,
hiwalah, kafalah, jualah, ba’i salam, istisna’,
riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.
Selain dalam kitab-kitab fikih,
terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar
(luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi
Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Dalam pandangan Islam, uang hanya sebagai alat transaksi
ekonomi, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya merupakan alat untuk
mencapai pertambahan nilai. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis
bunga dimana uang "mengembangbiakkan" uang, tidak peduli apakah uang
itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan
uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung
melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, atau
tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu nusaha
atau seluruh kegiatan usa tersebut.[15]
Salah satu
solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery
ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki
komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan
ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga
menciptakan stabilitas perekonomian. Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan,
mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding
sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global.
Kedepan pemerintah perlu memberikan perhatian
besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten
di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah
telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistem
hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank
konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang
sangat sulit tersebut.
Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan
hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa
direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN
kita dikuras lagi oleh keperluan
membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan
untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu
bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem
ekonomi kapitalisme yang ribawi.[16]
Proses berlangsung sistem ekonomi kapitalis yang
tengah berjalan selama ini --dalam dunia perbankan atau yang sejenis-- dan
justeru yang dipilih dan dijadikan sebagai instrumen perkembangan ekonomi dapat
digambarkan dalam alur contoh berikut
ini :


Selama ini,
sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang
memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian
pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan. Ekonomi
Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja,
tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena
kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten.[17]
Keberhasilan Malaysia mengembangkan ekonomi Islam
secara signifikan dan menjadi teladan dunia internasional, adalah
disebabkan karena kebijakan yang secara
serius mengembangkan ekonomi Islam. Mereka tampil sebagai pelopor kebangkitan ekonomi
Islam, dengan kebijakan yang sungguh-sungguh membangun kekuatan ekonomi
berdasarkan prinsip syari’ah. Indonesia yang jauh lebih dulu merdeka dan
menentukan nasibnya sendiri, kini tertinggal jauh dari Malaysia.
Kebijakan-kebijakan dengan sistem syari’ah, telah mampu mengangkat ekonomi Malaysia setara dengan Singapura.
Tanpa kebijakan mereka, tentu tidak
mungkin ekonomi Islam terangkat seperti sekarang, tanpa kebijakan mereka tidak
mungkin terjadi perubahan pendapatan masyarakat Islam secara signifikan. Mereka
bukan saja berhasil membangun perbankan, asuransi, pasar modal,
tabungan haji dan lembaga keuagan lainnya secara sistem syari’ah, tetapi
juga telah mampu membangun peradaban
ekonomi baik mikro maupun makro dengan didasari prinsip nilai-nilai Islami.
Aplikasi ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan
ummat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti
itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip
keadilan dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat
Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif.[18]
D. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syari'ah
Perkembangan teori ekonomi syari'ah
di mulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Quran, seperti :
QS. Al-Baqarah ayat ke 275
dan 279 tentang jual beli riba ; QS. Al Baqarah ayat 282 tentang pembukaan
transaksi ;QS. Al-Maidah ayat 1 tentag akad ; QS. Al-A'raf ayat 31, An-Nisa
ayat 5 dan 10 tentang pengaturan percarian, penitipan dan pembelanjaan harta.
Ayat-ayat ini menurut At-Tariqi menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok
ekonomi sejak persyariatan Islam (masa Rasulullah saw) dan di lainjutkan secara
metodis oleh para peneurusnya (Al-khulafa ar-Rasyidin) pada masa ini bentuk
permasalahan perekonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang
muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan
pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan
lil 'alamin.[19]
Perkambangan pemikairan ekonomi
syari'ah dari sejak masa nabi sampaii sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan. Tahap
pertama (632-656 M), masa Rasulullah saw. Tahap kedua (656-661M),
pemikiran ekonomi syari'ahdi masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Tahap ketiga
atau periode awal (738-1037 M), pemikiran ekonomi syari'ah, periode ini di
awali Zayd bin ali (738 M), Abu hanifa (787 M),Auzai (774 M), Malik (798 M),
Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (804 M),Yahya bin Dam (818
M), Syafi'i (820 M), Abu Ubaid (838 M), Ahmad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal
(855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), -farabi (950 M), Abu
Jafar al-Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M).
Tahap keempat atau periode
kedua (1058-1448 M). Pemikir eknomi syari'ah periode ini Al-Gazali (1111 M), Ibnu
Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al-Sarakhsi (1090 M), at-Tusi
(1093 M), Ibnu Mas'ud Al-Kasani (1182 M), Al-Saizari (1993 M), Fakhrudin Al-Razi
(1210 M), Najmudin Al-Razi (1256 M),I bnu al-Ukhuwa (1329 M), Ibnu al-Qoyyim
(1350M), Muhammad bin Abdul Rahman Al-Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al-Syatibi
(1388 M), Al-Maqrizi (1441 M), Ibnu Arabi (1240 M), Jalaludin Rumi (1274 M), Ibnu
Baja (1138 M), Ibnu Tufail (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap kelima atau periode
ketiga (1446-1931 M). Shah Waliyullah Al-Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab
(1787 M), Jamaluddin Al-Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhaammad
Iqbal (1938 M).
Tahap keenam atau periode
lanjut (1931 M-sekarang). Muhamad Abdul Mannan (1938 M),Muhammad Nejatullah Siddiqi
(1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935 M), Monzer Khaf, Sayyid Mahmud
taleghani, Muhammad Baqir as-Sadr, Umer Chapra.[20]
Hasil pemikiran ekonomi syari'ah dari beberapa peimikir di atas
sebagai berikut:
- Rasulullah saw telah melakukan praktek titipan, meminjamkan, pengiriman uang.
- Umar bin Khattob, menggunakan instruyen cek untu membayar tunjangan kepada mereka yang berhak.
- Ali bin Abi Thalib, melakukan praktek wadi'ah dalam menerima barang orang lain.
- Zubair bin Awwam, melakukan proses peminjaman
- Ibnu Abbas, melakukan praktek pengiriman uang ke Kufah
- Abdullah bin Zubair melakukan praktek pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya, Mis'ab bin Zubair di Irak[21]
- Khalifah Muawiyah (661-680 M), telah dikenal sarraf dan jihbiz (praktek penukaran mata uang)
- Zaid bin Ali (699-738M), adalah penggagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai
- Abu Hanifah (699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai Imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay' al-salam al murabahah.[22]
- Al-Auzai (707-774 M), nama lengkapnya Abdurrahman al-Auzai yang berasal dari Bairut, Lebanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah penggagas orisinal dalam ilmu ekonomi syari'ah. Gagasan-gagasannya antara lain kebolehan dan kesahihan sistem muzara'ah sebagai bagian dari bentuk murabahan dan membolehkan peminjaman modal baik dalam bentuk tunai maupun sejenis.
- Imam Malik bin Anas (712-796 M). Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwathtah', dan imam madzhab hukum. Namun ia pun memeliki pemikiran orisinal dibidang ekonomi, seperti ia menganggap seorang raja atau penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istishlah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkannya mengandung analisis nilai kegunaaan atau teori utiliti dalam filsafat Barat.
- Abu Yusuf (731-798 M). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatannya (al-qadli). Abu Yusuf dan dikenal perhatiannya atas keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Iapun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan yakni kitab al-Harj. Karya ini berbeda dengan karya Abu Ubaid yang datang kemudian. Kitab ini, sebagimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan penguasa pada zamannya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpah rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar Jibayat al-Haraj, al-Shadaqat, al-Jizyah. Tulian Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu Ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat pada pemerintah untuk mensejahterahkan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggung jawab penguasa untuk mensejahterahkan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil oleh para ahli ekonomi. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandangannya yang menentang pengendalian harga atau tas'ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.[23]
- Al-Farabi (870-950 M). Mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu : Madinatun Nawabit, Madinatul bahimiyah, Madinatun Nadzalah, madinatul Jama'iyah.[24]
- Khalifah Abbasyiyah, Khalifah Muqtadir (908-932 M), telah berkembang macam cek (saq) dan pekerjaan sebagai bankir
- Ibnu Sina (980-1037 M). Ia mengemukakan pendaptnya antara lain : (a) manusia adalah mahluk bereknomi; (b) ekonomi membutuhkan negara; (c) perkembangan ekonomi melalui perkembagan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; (d) ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kesetabilan ekonomi harus dijaga; (e) prinsip yang lain adalah harta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; (f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah; (g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; (h) pengeluaran wajib atau nafkah yang sifatnya konsumtif harus di keluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus di cukupkan dengan hati yang ikhlas; (i) setiap orang harus mempunya rencana simpanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.
- Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111M) tokoh yang lebih di kenal sebagai sufi atau dan filosof serta pengkeritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa; (a) perkembangan ekonomi bertolak dari hakikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembangunan. Ketiga unsur ini interdependen; (b) perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi; (c) uang bukan komuditi, melainkan alat tukar; (d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia; (e) perlu adanya pemerintah; (f) mata uang negara islam; (g) perlunya institusi semacam perbankan; (h) hati-hati terhadap riba; (i) dua jalur transakai perbankan, pribadi dan negara.
- Al-Mawardi (450 H). Penulis al-Ahkam al-Sultaniyyah, adalah pakar dari syafi'iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan agama dan dunia atau urusan spiritual dan temporal (li hirsi al-din wa al-umur al-dunyawiyyah). jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang di bebankan diatas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterahkan rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomimi, politik dan hak-hak individual secara berimbang dengan hak Allah. Tentu saja termasuk didalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, ditribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilm ekonomi.
- Ibnu Taymiyah (1262-1328 M). Dalam kitabnya, al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlahi al-Raiy wal Ra'iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar, pengawasan pasar, hingga akuntansi yang erat kaitannya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, nampaknya Ibnu Taymiyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syari'ah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.[25]
- Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Cendikiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatiannya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya al-Muqddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahsanya secara parsial. Ia mendefinisikan ilmu ekoomi jauh lebih luas daripada devinisi al-Tusi. Ia dapat melihat secara jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk pada ketentuan akal dan etika telah mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif sekaligus positif. Termminologi jumhur yang berarti masa yang digunakannya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan individu. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni ; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan lain sebagainya.[26]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Eonomi Islam :
Prinsip, Dasar, dan Tujuan, (Yogjakarta, Magistra Insani Press)
Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri
al-Baghdadi al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut : Dar al-Fikr)
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana
Bhakti Wakaf, 1995)
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian
Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003)
-----------------------, Bank Islam : Analisis Fiqh
dan Keuangan, (Yakarta : Raja Grafindo Persada, 2006)
Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah,
(Yogjakarta : LKIs, 2000)
Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam :
Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah, (Yogjakarta : Pilar
Media, 2006)
Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi
Syari'ah, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008)
Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek
Perkembangan di Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005)
Muhammad Abu Zahrah, Abu
Hanifah, (Kairo : Dar al-Fikr al-Araby)
Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam : Teori dan
Praktek, (Yogjakarta : PT Bhakti Wakaf)
Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz
2, (Bairut, Dar al-Fikr, tp, tt, )
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori
ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003)
M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang
Adil, Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
Mustafa Edwin Nasution et al., Pengenalan Eksklusif :
Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme,
Terj. Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007)
Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan Berekonomi
Syari'ah, (Yogjakarta : Safiria
Insania Press, 2008)
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar
Ekonomi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001)
[5] Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang
berdiri sendiri terpisah dari ekonomi, tidak memiliki relasi dengan ekonomi.
Ekonomi pada akhirnya betul-betul menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai.
[6] Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari'ah,
(Yogjakarta : Graha Ilmu, 2008), 3
[7] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, Terj.
Yusup Priyasudiardja, (Yogjakarta, Jejak, 2007), 109
[8] M. Umer Chapra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil,
Terj. Lukman Hakim, (Yogjakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), xxv
[9] Muhammad, Bank Syari'ah : Problem dan Prospek Perkembangan di
Indonesia, (Yogjakarta : Graha Ilmu, 2005), 5
[10] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah : Dari teori ke Praktek,
(Jakarta : Gema
Insani Press, 2003), 4
[11] Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah,
(Yogjakarta : LKIs, 2000), 5
[13] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Dana Bhkti
Wakaf, 1995), 19
[14] Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, (Bairut,
Dar al-Fikr, tp, tt, ), 86
[15] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta : Gema Insani Press, 2003), 11
[17] Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi
Islam : Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah, (Yogjakarta :
Pilar Media, 2006), xi
[19] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Eonomi
Islam : Prinsip, Dasar, dan Tujuan, (Yogjakarta, Magistra Insani Press), 26
[20] Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan
Berekonomi Syari'ah, (Yogjakarta, Safiria Insania Press, 2008), 5
[21] Adiwarman A. Karim, Bank Islam :
Analisis Fiqh dan Keuangan, (Yakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), 19
[22] Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah,
(Kairo : Dar al-Fikr al-Araby), 404-410
[23] Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam :
Teori dan Praktek, (Yogjakarta : PT Bhakti Wakaf), 24
[24] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar
Ekonomi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 242
[25] Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri
al-Baghdadi al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut : Dar al-Fikr)
[26] Tim Penulis MSI UII, Menjawab Keraguan
Berekonomi Syari'ah, (Yogjakarta, Safiria Insania Press, 2008), 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar